Tuesday, September 4, 2012

KAMPUNG LAWEYAN

Laweyan adalah onderdistrik (kemantren) di kota Surakarta di bagian paling Barat.Di situ terdapat makam Ki Ageng Ngenis yang menurunkan raja-raja Mataram.Rupanya kampung Laweyan selalu terletak di pinggiran kerajaan,baik masa Pajang maupun Kartasura dan Surakarta.Laweyan tercatat dalam tradisi lisan sebagai tempat pelaksanaan hukuman bagi mereka yang bersalah terhadap kerajaan dan tubuih mereka yang bersalah tersebut dilemparkan ke dalam sungai di Laweyan.Sebagai masyarakat yang  berada di pinggiran ternyata mempunyai arti penting bagi pertumbuhan masyarakat dan budayanya.Pada jaman Kartasura,ketika terjadi pemberontakan Cina orang-orang Laweyan tidak mau memberi bantuan kepada Paku Buana II.Ketika hendak melarikan diri ke Ponorogo,Sunan berhenti di Premulung.Sunan PB II meminta bantuan pada masyarakat Laweyan untuk meminjam kuda yang akan digunakan melanjutkan perjalanan ke Ponorogo,namun ditolak,karena masyarakat Laweyan tidak merasa menjadi bagian dari kerjaan Kartasura.

Rupanya Laweyan adalah masyarakat marginal dalam sistem sosial kerajaan- kerjaaan Jawa karena penduduknya menjadi pedagang.Sebagai pedagang mereka tidak terikat dengan hubungan patrimonial berdasar pemilikan dan penguasaan tanah,terlepas dari sistem agro managerial state yang memungkinkan memiliki subkultur sendiri.Pada awal abad 20 mereka sudah mempunyai kegiatan industri perbatikan untuk konsumsi masyarakat luas bahkan mampu menjadi kepanjangan tangan industri tekstil di Eropa.

Kekayaan sebagai pedagang memungkinkan banyaknya populasi haji,dan dalam tradisi lisan mereka menyebut banyak penyebar agama Islam adalah nenek moyangnya.,setidaknya ini menunjukkani identitas budaya Santri.Kenyataannnya bahwa kemudian kampung ini menjadi pusat kegiatan gerakan Sarekat Islam.

Kampung Laweyan membentuk komunitas sendiri dengan saudagar sebagai pusat hirarki.Dalam usaha perbatikan terdapat tertib sosial ekonomi dari pemilik usaha hingga kuli.Keluarga pemilik perusahaan menjadi puncak dari sistem status.,dimulai dari nenek sebagai Mbok Mase Sepuh,kemudian Kakek sebagai Mas Nganten Sepuh,Ibu sebagai Mbok Mase,Bapak sebagai Mas Nganten,anak permpuan sebagai Mas Rara,anak laki-laki sebagai Mas Bagus.Saudagar Laweyan adalah elit dari komunitasnya yang tidak mendapat tempat dalam sistem status resmi kerajaan.Keadaan in berbeda dengan Kampung Kauman yang memang menjadi bagian dari sistem status resmi kerajaan karena menjadi abdi dalem panatagama.

Demikian pentingnya Laweyan menjadi pusat dunia usaha,sehinggga pernah ada usulan dari seorang pembaca Surat Kabar Nieuw Vorstenlanden,21 Agustus 1903,untuk memjadikan Laweyan sebagai titik pusat dari sistem Trem di Surakarta.Memang ijin untuk membuat trem ke Laweyan sudah diberikan tetapi tidak pernah terlaksana.Itulah Laweyan sebagai 'Kampung Kawula' yang selalu dimarjinalkan oleh feodalisme kerajaan,namun mampu menjadi kaum pengusaha yang diperhitungkan.

No comments:

Post a Comment