Sunday, August 26, 2012

EKONOMI RAKYAT DAN KORPORAT INTERNASIONAL DILEMA PETANI TEMBAKAU


                                               Oleh:SUHARTONO W. PRANOTO
                                                  ( Fakultas Ilmu Budaya UGM )


Proses pemilihan Tembakau
Iklan-iklan di media cetak dan elektronik mengingatkan kita pada bahaya merokok. Iklan-iklan itu seperti terpolitisasikan karena kuantitas dan kualitasnya yang menjelajahi tanah air. Ini semua tentu saja meerupakan peringatan besar atas bahaya rokok. Merokok menyebabkan kanker, hipertensi, stroke, gangguan kehamilan, dll. Rokok dibuat dari daun tembakau dan dari daun itu juga menghasil;kan cerutu yang berkualitas tinggi yang diekspor dan mendunia. 

Tanaman tembakau kemudian menjadi tanaman komersial yang dengan demikian harganya pun jauh lebih tinggi dari pada tanaman tradisional. Terkait dengan dua jenis tanaman itu jelas menyangkut kehidupan dan kesejahteraan petani. Memang di satu sisi perkebunan tembakau yang dikelola perusahaan perkebunan Barat (onderneming) langsung mengangkat kehidupan pengusahanya dan perkebunan tembakau, rakyat juga ikut terdongkrak. Meski tembakau rakyat hanya dikonsumsi di dalam negeri tetapi tembakau ini dijadikan bahan dasar rokok lokal. Tembakau local sudah lama digunakan sebagai kombinasi dalam makan sirih (Jawa: nginang). Kombinasi tembakau, sirih, dan kapur (Jawa: injet) mampu menguatkan gigi, tentunya juga ada kandungan nikotin. Sirih, meski masyarakat secara tradisional kurang begitu faham kegunaannya, tetapi selalu saja bahan itu digunakan karena kandungan antibiotik. Seperti diketahui kebiasaan merokok sudah lama berlangsung dan tampaknya medical warning belum pernah ada sehingga perkebunan tembakau dan industri rokok berkembang pesat. Dampaknya adalah terjadinya perluasan perkebunan tembakau baik yang diusahakan oleh onderneming maupun tembakau rakyat. Sejak perluasan tembakau pertama di Sumatera Utara dengan Tembakau Deli (1864) itu posisi perkebunan tembakau di Sumatera dan Jawa sangat baik di pasar internasional. 

Di sisi lain, kehidupan petani sangat tergantung pada perusahaan dan produk tembakau dan para petani tembakau lokal juga sudah berjalan dengan baik dan berlangsung beberapa abad. Akan tetapi setelah ditemukannya bahan-bahan kimia yang akan menandingi zat adiktif tembakau muncullah secara politis usaha menghancurkan zat adiktif dari tembakau. Itulah sebabnya lewat tangan-tangan internasional diusahakan agar tanaman tembakau dihancurkan karena dianggap berbahaya bagi kesehatan manusia sangat luar biasa. 

Pemerintah Indonesia pun terjerat dengan kontrak internasional untuk mematuhi larangan penanaman tembakau. Dari sedikit latar belakang kompetisi di atas memunculkan persoalan tentang kehidupan ekonomi petani tembakau. Berkaitan dengan masalah kehidupan petani muncul persoalan: 

1. Apa dampak larangan penanaman tembakau dan resistensi petani. 
2. Bagaimana sikap pemerintah terhadap korporat internasional? 
3. Terakhir posisi pemerintah menghadapi dilemma antara cukai dan loyalitas internasional? 

Pertanyaan-pertanyaan ini sekedar mengarahkan pembahasan persoalan tembakau dan kehidupan petani serta kemungkinan solusi lain sesuai dengan perkembangan politik global. Perkembangan Perkebunan Tembakau (ENI) Menurut cerita rakyat penggunaan tembakau secara tradisional sudah dilakukan masyarakat sudah sangat tua, konon sejak para wali. Ini berarti bahwa tembakau sudah dikenal sejak abad ke-15. Kebutuhan tembakau digunakan untuk konsumsi sendiri, yaitu untuk makan sirih atau nginang yang dilakukan untuk laki-dan perempuan, sedangkan yang kemudian dikonsumsi khususnya laki-laki tembakau untuk diisap dijadikan rokok. Kalau boleh dikatakan budaya makan sirih sebenarnya sudah tersebar di seluruh nusantara. Penggunaan tembakau terus meningkat sehingga di beberapa daerah di Jawa khususnya tanaman in dipelihara karena sangat menguntungkan. Orang menyebutnya „tembakau Jawa yang dibudidayakan di daerah Vorstenlanden, Kedu, Rembang, Bojonegoro, Besuki, dan Madura (van Deventer 1904: 35). Tembakau Jawa atau tembakau rakyat untuk konsumsi rakyat. Di sisi lain pemerintah kolonial mengembangkan perkebunan tembakau (tabac onderneming) yang dibudidayakan di Sumatera Utara (1864) di tanah-tanah Sultan (Stoler, 1985) dan beberapa tempat di Jawa seperti Vorstenlanden yang menggunakan tanah-tanah apanage (Suhartono, 1991) dan keresidenan Besuki (Sugijanto Padmo, 1999). 
Budidaya tembakau perusahaan sebagai „emas hijau cepat meluas karena untungnya menjanjikan bahkan pasar Eropa termasuk memonopoli tembakau Indonesia untuk bahan cerutu yang berkualitas. Jika dibandingkan ruas areal yang digunakan ternyata tembakau rakyat cukup luas dibanding tembakau perusahaan, tetapi secara kualitatif tembakau rakyat selalu tertinggal. Hal ini memang wajar karena tembakau rakyat terbatas memenuhi kepentingan konsumen lokal. Meski demikian keuntungan yang diperoleh petani tembakau lokal rata-rata lebih baik ketimbang petani tanaman pangan yang juga dikelola secara tradisional. 

Perkembangan perkebunan tembakau baik tembakau rakyat maupun tembakau perkebunan paska kemerdekaan masih berjalan wajar sesuai dengan kebutuhan pasar dan konsumen. Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) terus mengelola perkebunan tembakau pemerintah. Di samping itu, tembakau rakyat dikelola sendiri meski sebagian juga menanam jenis tembakau perkebunan. Mengenai jenis tembakau yang ditanam kemudian antara tembakau rakyat dan perkebunan tidak ada bedanya, meski rakyat juga menanam tembaku lokal untuk kepentingan tradisional. Namun, karena keuntungan lebih menjanjikan pada tembakau ekpor maka pemerintah pun memberikan bimbingan agar rakyat juga menanam jenis tembakau itu. Program ini tentu saja disambut baik rakyat karena memang jauh memberikan kesejahteraan. Kehidupan Sosial Ekonomi Meski sudah dibedakan antara petani tembakau lokal dan tembakau perusahaan dalam arti konsumennya yang berbeda, tetapi juga perolehan panen. Bagi petani tembakau lokal setidaknya kehidupan subsisen dapat diatasi, sedangkan tembakau perkebunan yang dihasilkan rakyat juga jauh lebih menjanjikan artinya kesejahteraan dari panen tembakau jenis itu jauh lebih baik. Berapa rata-rata pendapatan petani tembakau rakyat dan tembakau perkebunan. Dipastikan hasil panen mereka di dua jenis tembakau ini jauh lebih baik ketimbang petani tanaman pangan lainnya yang hasilnya sekedar memenuhi kebutuhan pangan saja. Kebutuhahan tembakau sebagai kebutuhan tertier jelas beda dengan yang primer, harganya jauh lebih tinggi sehingga mereka juga dapat keuntungan dari penjualan tembakau. Sejak tahun 1860-an tembakau Indonesia diekspor keluar negeri, khususnya ke Belanda, Jerman, Belgia, Luxemburg, Swiss, Spanyol, Prancis, Inggris, Denmark, dan Swedia. Tembakau Indonesia berkualitas baik dan cocok untuk bahan cerutu. Selain nikmat, cerutu Indonesia mampu menolak dingin dan bagi pengemarnya merasa lebih percaya diri dan prestisius. Sejak dulu pun para penghisap cerutu dan rikok pada umumnya sudah sadar bahwa mereka pasti kena dampak adiktif berupa nikotin. Sejak dulu pula mereka sudah berupaya mengurangi dampak itu dan mereka membuat pipa dari gading gajah, dari tulang kaki kelelawar besar, dan ada yang menyebutnya „pipa Landa. Fungsinya tentu sebagai filter agar bisa mengurangi bahaya nikotin yang masuk ke tubuh. Perolehan ekspor kolonial dari tembakau tercatat untuk Jawa saja mencapai 45.608 gulden pada 1870-1930 meski mengalami penurunan waktu depresi tahun 1930 menjadi 12.301 gulden (Sartono dan Djoko suryo, 1991: 110-111). Catatan produksi tembakau kolonial menunjukkan kenaikan dari 130 pikul tahun 1859 di Yogyakarta menjadi 1.853 pikul pada tahun 1862. Berapa produksinya di Surakarta pada desenia yang sama? Paska 1870 sumbangan keuntungan dari tembakau di Vorstenlanden mencapai 6% dari keseluruhan perolehan produksi tembakau Jawa yang naik menjadi sekitar 30% pada tahun 1930-an (Houben, 2002: 593-594). Pada masa Orde Baru, khususnya tahun 1979-1988 tercatat tembakau rakyat 78.242- 67.244 ton, tembakau Virginia 20.068-38.650, tembakau Besuki 20.258-6.994, Velden 2.677-1.919 (Sugijanto Padmo, 1991: 62). Angka-angka itu menunjukkan bahwa meski terdapat penurunan produksi tetapi pada dasarnya produksinya dalam jumlah relatif tinggi. Angka-angka yang dikumpulkan dari sumber lain agak berbeda tetapi menunjukkan kecenderungan yang sama bahwa dalam periode yang sama terjadi penurunan ekspor. Produksi tembakau berasal dari beberapa daerah di Jawa dan Sumatera. Deli, Vorstenlanden, Besuki, Lumajang, Madura, Bojonegoro, Jombang, Kedu, Boyolasli dan masih ada beberapa tempat lagi sebagai penghasil tembakau. Pasar tembakau Indonesia mencapai 176.000 bal per tahun. Jumlah yang cukup besar dan mendatangkan devisa yang bagi negara yang besar pula. Berikut adalah perkembangan ekspor tembakau tahun 1979 - 1988 dalam ton, meski sebagian besar turun. Tembakau Deli dari 2.338,1 menjadi 1.440,8 (-2.40%), Vorstenland 1.744,1 - 578,4 (-58%), Besuki 15.284,5 - 10.171,7 (-24,8%), Boyolali 800,0 – 1.113,8 (+87,35%), dan jenis-jenis lain 3.507,1 – 2.367,3 (-12,52%) (Abdul Kahar Muzakir, 1989: 14, sic.) Ekonomi rakyat Bagi petani, tembakau dianggap „emas hijau yang didambakan sebagai sumber penghidupan yang sudah berlangsung beberapa abad dan belum tergantikan sampai sekarang. Tembakau merupakan commercial crops yang jauh lebih banyak memberikan keuntungan bagi petani daripada mereka membudidayakan tanaman pangan tradisional. Sebagai contoh adalah sebidang tanah luas 2.500 m2 yang ditanami tembakau jika dijual 6 juta dan dikurangi biaya tanam 1,5 juta. Jika ditanami palawija hanya menghasilkan 1,8 juta dengan biaya 1 juta rupiah dan jika ditanami padi menghasilkan 2 juta dengan biaya produksi 1 juta. Jadi, harga jual dari panen tanaman pangan tradisional itu jauh lebih rendah dibanding penghasilan tanaman tembakau. Petani yang bisa menghasilkan tembakau srintil bakal panen uang. Istilah srintil untuk menunjukkan tembakau dengan kualitas tinggi atau tembakau totol F dan G yang harganya berkisar Rp 300.000,- - Rp 500.000,- /kg. tembakau kering, dan yang berkualitas istimewa mencapai Rp 850.000,-/kg. Saking hasil panen yang sangat baik, sebuah desa mampu mendirikan bangunan Sekolah Dasar, perbaikan jalan desa, balai desa, MCK yang higienis, dll. (Kompas, 7 Juni 2010).
Kennedy membeli 1.200 cerutu Kuba sebelum mengembargo

Pada tahun 2009, Bupati Temanggung, Hasyim Affandi mengatakan bahwa produksi tembakau kabupaten Temanggung mencapai 8.400 ton/tahun dengan nilai Rp 588 miliar, di atas APBD 2009 yang hanya Rp 587 miliar. Sebagai penghasil tembakau terbesar di Jawa tengah, Temanggung menerima bagi hasil cukai sebesar Rp 8,5 miliar. Dari angka-angka di atas jelas bahwa hasil panen tembakau memberikan kesejahteraan rakyat. Sangat elok jika hal ini dikaitkan dengan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai zat adiktif bagi kesehatan. Di samping itu fatwa haram merokok yang dikeluarkan MUI sangat bertentangan dengan kenyataan di masyarakat. Dalam menanggapi RPP itu ada berbagai macam respon petani tembakau. Dari respon yang berupa silent movement sampai dengan gerakan radikal. Di antara petani ada yang diam-diam terus menanam tembakau sampai dengan pemerintah mengeluarkan pelaksanaan RPP. Akan tetapi ada petani yang mencari alternatif lain sebagai tanaman pengganti. Namun, juga ada petani yang mengerahkan massa dengan menggelar demo di Jakarta. Sekitar 4000 petani yang tergabung dalam APTI Jateng melakukan demo di Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian kesehatan, dan DPRD. Sampai sekarang RPP itu masih dalam posisi menggantung. Sementara itu, pemerintah masih dalam sikap ragu-ragu, sebab kalau RPP itu nantinya diberlakukan maka pemerintah kehilangan cukai sekitar 50 triliun/tahun. Jumlah ini sangat signifikan jika digunakan untuk menambal APBN. Selain itu angin kencang dan tekanan keras dari internasional memaksa pemerintah untuk melaksanakan RPP. Bagaimana tidak mungkin jika pemerintah yang mengikuti neoliberalisme itu pasti berpihak pada kekuatan pasar bebas. Hal ini bukan mudah bagi pemerintah untuk mengambil sikap yang sebenarya, seperti makan buah simalakama. Kehidupan petani dan buruh sangat tergantung dari kelangsungan perkebunan tembakau dan perusahaan rokok. Artinya mereka mampu bertahan hidup sejak beberapa abad lalu meski hidup dalam kondisi subsisten. Namun, boleh dikatakan bahwa kehidupan mereka jauh lebih baik disbanding dengan petani pengelola tanaman tradisional. Petani tembakau selagi panen baik mampu berspekulasi dengan mengonsumsi barang kebutuhan elektronik, motor, mobil, rumah dan juga „naik haji yang sulit dijangkau oleh petani tradisional. Karena spekulasi dan naluri panen produk komersial dengan hasil yang lebih besar maka mereka mampu menikmati kehidupan petani tembakau dengan gaya hidup yang berbeda dengan petani biasa. Korporat internasional Sejak runtuhnya Uni Soviet tahun 1991, dunia ini tinggal ada satu kekuatan tunggal yaitu Amerika Serikat. Tentu saja sebagai super power dan berfungsi sebagai polisi dunia berhak mengontrol semua yang terjadi dan melakukan apa yang dikehendaki. Kepentingan dan interes sendiri berunjung pada keuntungan yang diperoleh sejalan dengan semangat liberalisme dan pasar bebas. 

Sehubungan dengan masalah tembakau dan ada kaitannya dengan zat adiktif, AS mengambil posisi sebagai sebagai pemberi peringatan dan berdalih sebagai penjaga kesehatan masyarakat dunia, maka AS menjadikan World Health Organization (WHO) atau Badan Kesehatan Dunia sebagai wahana mendapatkan keuntungan ekonomis. Pada tahun 1987 WHO sudah menetapkan Hari Tembakau Internasional atau World No Tobacco pada tanggal 31 Mei dan tanggal itulah dijadikan hari inisiasi dunia. Seruan untuk mengurangi produksi tembakau diterima negara-negara di dunia ini, meskipun ada yang setuju, tidak setuju, dan ragu-ragu terhadap seruan itu. Sementara negara-negara yang tidak setuju terhadap kampanye anti-tembakau melakukan counter-campaign dan berargumentasi bahwa kampanye antitembakau adalah inisiatif WHO di bawah Direktur Jenderal G. Harlem Brundland yang sarat dengan kepentingan bisnis dari korporasi farmasi internasional. Sejak awal kampanyenya dia mendapat dukungan dari korporasi farmasi internasional. Yang menjadi tujuannya adalah memperlancar perdagangan obat-obat Nicotine Replacement Therapy (NRT) yang sebelum lahirnya proyek WHO ini, telah bersaing dengan industri tembakau dalam bisnis nikotin, Jadi, jelas bahwa motif utamanya adalah kepentingan bisnis (KR, 2 Juni 2010). Indonesia termasuk 21 negara anggota WHO dan satu-satunya di kawasan Asia-Pasifik yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FTFC). Akan tetapi apa yang dilakukan Indonesia ternyata masih bersikap ragu-ragu dan slow down meski sering-sering dimunculkan di permukaan untuk melaksanakan RPP No. 36 Tahun 2009 tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai zat adiktif bagi kesehatan. Baik FTFC maupun RPP mengatur: 1 Pelarangan dan sponsor rokok, 2. Mengatur pembatasan areal tembakau secara bertahap dan pengaturan rokok bernikotin rendah. Jelas tujuan WHO adalah untuk melindungi kesehatan masyarakat terhadap insidensi penyakit fatal dan penyakit yang menularkan kualitas hidup akibat menggunakan produk tembakau. Tekanan global yang merupakan representasi korporat internasional jelas sangat meresahkan masyarakat, terutama bagi kehidupan masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari produk tembakau. Namun, perlu persiapan matang guna menghadapi dampak yang luar biasa terhadap kehidupan petani tembakau dan buruh pabrik rokok yang bergelut dengan tembakau. Mengutip pendapat penulis anonim di sebuah surat kabar sungguh sangat menggelitik yang mengatakan bahwa “Refleksi kita harus memberi kejelasan, apakah memperingati Hari-Anti Tembakau Internasional menghasilkan sesuatu bagi kesehatan masyarakat ataukah kita terkapar pada isu besar kepentingan korporasi internasional yang saling membunuh dengan alasan etis”. (KR, 2 Juni 2010). Tidak pelak bahwa sebagian masyarakat Indonesia setuju dengan program WHO. Pada tanggal 31 Mei 2010 Wali Kota Padang Panjang, Suir Syam menerima penghargaan atas inisiatif memerangi rokok di kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Penghargaan itu berupa TAPS (Tobaco Advertisement, Promotion, and Sponsorship dan Awards for Significant Performance on Tobacco Smoke Free Area Development). Alasan awards itu diberikan karena Padang Panjang kehilangan iklan rokok 100 juta, tetapi rumah sakit bisa mengurangi penerimaan pasien penderita nikotin dari 30 menjadi 5 orang saja/hari (Kompas, 1 Juni 2010). Selanjutnya Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengatakan akan membahas RPP tahun 2010, tetapi sampai sekarang belum muncul berita tentang RPP itu. Di sisi lain, malahan di beberapa Rukun Wilayah di kota Yogyakarta menjadi pencontohan kampong bebas rokok. Di kampung lain merokok „masih seperti yang dulu. Dependensi global harus diakali dengan caranya sendiri sebab korporat internasional tidak mesti keras dengan aturannya, akan tetapi ada kelonggaran yang berlaku di tingkat local. Neoliberalisme memang sedang mengancam otonomi yang sudah seharusnya ditolak karena bertentangan dengan kebijakan lokal dan kesejahteraan lokal pula. Pemerintah perlu diajak berembuk untuk mengulur berlakunya RPP atau membatalkan sama sekali demi kepentingan rakyat banyak. Nasib petani tembakau sangat tergantung dari goodwill pemerintah yang sampai kini sangat dilematis, di satu pihak kecenderungan neoliberalisme yang mengikuti kemauan pasar dan di pihak lain melindungi nasib petani tembakau. Jika pemerintah loyal terhadap korporat internasional berarti pemerintah mengorbankan petani tembakau dan seluruh kegiatan yang berhubungan dengan produksi hulu-hilir tembakau. Dan jika pemerintah konsekuen dengan pelaksanaan RPP berarti bakal terjadi antara lain: 1. Pengangguran dalam sekala terbatas bakal terjadi di Jawa Tengah dan dalam sekala luas bakal terjadi di Indonesia, di daerah-daerah penghasil tembakau. Di Jawa Tengah saja tercatat 7 juta orang yang hidup dari produk tembakau. Dari 7 juta orang itu 45% adalah keluarga petani tembakau. Mereka tersebar di kabupaten Temanggung, Wonosobo, Magelang, Banjarnegara, Boyolali, Kebumen, Purworejo, Klaten, Grobogan, Demak, Kendal, dan Semarang. Luas areal tembakau Jateng mencapai 38.566,30 ha dengan produksi 28.766,17 ton tahun 2009 (Kompas, 7 Juni 2010). Masih ada beberapa daerah perkebunan tembakau di DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Sumatera Utara. Selain petani tembakau, buruh perusahaan rokok juga terlibat kebijakan pemerintah. Di Kudus saja ada 9 perusahaan rokok besar yang mempekerjakan 98.000 buruh. Secara
keseluruhana ada sekitar 200 perusahaan besar, sedang, dan kecil. Setiap buruh bisa mengerjakan dengan melinting 2000-3000 batang rokok/hari hanya dengan upah Rp 18.000,- - Rp 27.000,- Mereka juga tidak bekerja seminggu penuh, atau sekurang-kurangnya asap dapur tetap mengepul. 2. Pendapatan berupa cukai. Produksi tembakau Jateng itu menghasilkan cukai Rp 282 miliar, dengan pembagian Rp 84,6 miliar masuk provinsi dan Rp 197,4 miliar dibagikan kepada 25 kabupaten. 3. Tanaman pengganti. Kemungkinan tanaman lain sebagai tanaman komersial yang mengganti tembakau yang setingkat belum ditemukan. Memang jambu biji bisa mengantikan tetapi keuntungannya jauh di bawah tembakau. 4. Petani tembakau masih menanam tembakau sambil wait and see. Jika RPP diberlakukan maka perusahaan rokok dan petani tembakau bakal resah. Diperkirakan dalam dua puluh tahun mendatang tinggal 5-6 perusahaan. Ini berarti bakal terjadi gelombang PHK besar-besaran yang menyengsarakan petani, buruh dan juga perusahaan rokok dan tembakau. 5. Pemerintah berwibawa. Pemerintah harus bersikap dan berpihak pada rakyat dan melindunginya dari likuidasi korporat asing yang tidak manusiawi. Kesimpulan Antara „madu dan racun, demikian orang harus memilih. Madu karena tembakau mendatangkan devisa yang sampai sekarang devisa itu terus dikeduk. Racun karena kandungan nikotin yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Dengan kata lain, penggunaan tembakau banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Meski demikian, penggunaan tembakau sudah berjalam beberapa abad dan tetap juga memberi kesejahteraan petani tembakau dan pihak lain yang terlibat. Yang terakhir terjadi kompetisi di tingkat global, yaitu persaingan korporat internasional tentang bisnis zat adiktif. Dengan bantuan WHO pihak protembakau terdesak termasuk pemerintah RI yang akan memberlakukan RPP 36 Tahun 2009. Namun, kenmyataannya pemerintah harus berpikir dua kali, artinya mengikuti korporat internasional dengan akibat tidak akan mendapat devisa dan juga kesejahteraan petani dan buruh tembakau dan rokok bakal hilang. Itulah sebabnya pemerintah sepertinya mengulur pelaksanaan RPP 36/2009. Indonesia harus patuh pada WHO, karena memang zat adiktif ada pada tembakau dengan konsekuensi penggunanya terserang berbagai penyakit. Konsekuen dengan „perintah WHO berarti pemerintah harus menggantikan tanaman komersial. Akan tetapi hasilnya belum ada meski jambu biji diusahakan sebagai pengganti.

Dampak lain adalah kerugian pajak sebesar 50 triliun dan harus dicarikan penggantinya. PHK besar-besaran yang berdampak pada kegoncangan sosial dengan efek merebaknya kriminalitas. Sementara pemerintah belum siap maka RPP itu akan ditunda pelaksanaannya. Dilema yang menghadang pemerintah adalah antara loyalitas pada korporat internasional atau kehilangan devisa plus nasib jutaan rakyat yang tentunya tetap menjadi tanggung jawab pemerintah. 

Bibliografi. 
Abdul Kahar Muzakir. Pemasaran Tembakau Perkebunan. Yogyakarta: LPP, 1989. 
Amin, Samir.Imperialism and Unequal Development. New York/London: Monthly Review Press, 1877. 
Baneerje, Abhiyat.Vinayak, Roland Venabore and Deloji Moekerjee (eds.). Understanding Poverty. Oxford: Oxford University Press, 2006. 
Booth, Anne. Agricultural Development in Indonesia. Sydney: Allen & Unwin, 1988. 
Burger, D.H. De ontsluiting van Java’s binnenland voor het wereldverkeer. Wageningen: H. Veenman & Zoon, 1939. 
Chossudovsky, Michel. Globalization of Poverty and the New World Order. Montreal: CRG, 2003. Deventer, C. Th. Van. Overzicht van den economische toestand der inlandsche bevolking van Java en Madoera. „s-Gravenhage: M. Nijhoff, 1904. 
Elson, R.E. Village Java under the Cultivation System 1830-1870. St. Leonard, NSW. 1994. 
Furnivall, S.J. Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge: Cambridge University Press, 1944. 
Hall, C.J.J. en C. Koppel (eds.). De landbouw in den Indische Archipel. 3 dl. „s-Gravenhage: W. van Hoeve, 1962. Haspel, C.Ch. van den. Overzicht in overleg: Hervormingen van justitie, grondgebruik en bestuur in de Vorstenlanden op Java, 1880-1930. VKI, 111. Dordrecht: Foris, 1985. 
Houben, Vincent J.H. Keraton dan Kompeni. Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870. (terj.). Yogyakarta: Bentang, 2002. 
Kebudayaan, Perdagangan dan Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius, 2005. 
Kegley, Jr. Charles and Eugene R. Wittkopf. World Politics: Trends and Transformation. Boston: Bredford/St. Martins, 2001. 
Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial-Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media, 1991.
Stoler, Ann Laura. Capitalism and Confrontation in Sumatra’s Plantation Belt 1870-1979. New Haven and London: Yale University Press, 1985. 
Sugijanto Padmo. Tobacco Plantations and Their Impact in Surakarta Residency, 1860-1960s. Yogyakarta: Aditya Media, 1999. 
___________________ dan Edhi Djatmiko. Tembakau: Kajian Sosial-Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media, 1991. 
Suhartono. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta, 1830-1920. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991. 
Surat Kabar “Alih Ekonomi. Mencari yang menguntungkan”. Kompas, 7 Juni 2010. 
“Banyak Hujan, Tanaman Tembakau Membusuk”, KR, 3 Juni 2010. 
“Berdaulat dengan Tembakau”, Kompas, 7 Juni 2010. 
“Dari Anak Merokok ke Nasib Petani Tembakau”, KR , 2 Juni 2010. 
“Mematahkan” Mitos Ekonomi Tembakau. Kompas, 7 Juni 2010.
 “Nasib Industri Rokok. Biarkan Asap Dapur Terus Mengepul…”, Kompas, 7 Juni 2010.
 “Penghargaan WHO untuk Padang Panjang”, KR, 1 Januari 2010.

No comments:

Post a Comment