Oleh : Bambang Purwanto (purwanto349@yahoo.co.uk)
Sejarah Indonesia sejak masa
kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor perkebunan, karena
sektor ini memiliki arti yang sangat penting dan menentukan dalam pembentukan
berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di Indonesia.
Perkembangan perkebunan pada satu sisi dianggap sebagai jembatan yang
menghubungkan masyarakat Indonesia
dengan ekonomi dunia, memberi keuntungan finansial yang besar, serta membuka
kesempatan ekonomi baru, namun pada sisi yang lain perkembangan perkebunan juga
dianggap sebagai kendala bagi diversifikasi ekonomi masyarakat yang lebih luas,
sumber penindasan, serta salah satu faktor penting yang menimbulkan kemiskinan
struktural. Bahkan dalam konteks
masa lalu ada yang berpendapat bahwa sejarah kolonialisme dan imperialisme
Barat di Indonesia merupakan sejarah perkebunan itu sendiri. Sejak awal
kedatangan bangsa Barat yang mengidentifikasi diri sebagai pedagang sampai
masa-masa ketika Barat identik dengan kekuasaan kolonial dan pemilik modal,
perkebunan menjadi salah satu fakta atau variabel yang tidak bisa diabaikan
untuk merekonstruksi dan menjelaskan realitas masa lalu yang ada. Tulisan
singkat ini akan membahas proses dan struktur perkembangan perkebunan dan
komunitasnya sejak pertengahan abad ke-19 sampai paruh pertama abad ke-20,
ketika sektor perkebunan mengalami pertumbuhan yang luar biasa dan menimbulkan
pengaruh yang sangat besar baik bagi negara kolonial, para pemodal besar maupun
masyarakat di Indonesia. Konstruksi ini diharapkan memberi bekal untuk memahami
sejauhmanakah realitas kekinian perkebunan Indonesia
merupakan lanjutan dari masa lalunya, atau telah terjadi perubahan yang
mendasar sehingga tidak relevan mencari akar permasalahan perkebunan di Indonesia
pada masa kini pada realitas historis perkebunan di masa kolonial.
Awal Perkembangan
Jauh sebelum perkebunan milik para pemodal swasta Barat berkembang pesat di
abad ke-19, usaha perkebunan untuk ekspor sebenarnya telah memiliki sejarah
yang panjang di Indonesia.
Perubahan pola perdagangan pasar dunia pada akhir abad ke-15 dan awal abad
ke-16 yang disertai dengan pelayaran orang Barat langsung ke pusat-pusat
produksi dan perdagangan di Asia Tenggara menimbulkan peningkatan permintaan
terhadap beberapa jenis komoditi yang dihasilkan kepulauan Indonesia. Beberapa komoditi
seperti lada, pala, cengkeh, dan kayu manis yang sebelumnya hanya dikumpulkan
dari tanaman liar mulai dibudidayakan penduduk di berbagai daerah di Indonesia.
Para penguasa di kerajaan Aceh dan Banten
misalnya, telah melakukan langkah yang sistematis melalui jalur birokrasinya
dalam mengusahakan perkebunan lada pada akhir abad ke-16. Di Banten, pembukaan
perkebunan itu tidak hanya terbatas di tanah-tanah yang tersedia di ujung barat
pulau Jawa melainkan juga merambat ke daerah kekuasaannya di Lampung, sehingga
terjadi mobilitas penduduk secara rutin menyeberangi Selat Sunda.
Satu hal yang perlu dicatat dari beberapa studi yang telah dilakukan, negara
sejak awal telah menjadi penguasa utama yang memonopoli usaha perkebunan, baik
sebagai pemilik maupun sebagai pedagang hasil perkebunan. Proses produksi dan
pemasaran ditentukan oleh negara, keluarga kerajaan, dan para birokratnya
melalui jaringan birokrasi dan institusi tradisional, sementara itu rakyat
hanya berfungsi sebagai penyedia tenaga kerja dan tidak memiliki kekuatan tawar
menawar untuk menentukan besar kecilnya nilai dan hasil produksi. Penguasa dan
birokrasinya bahkan menentukan distribusi kebutuhan sehari-hari produsen, yang
merupakan kompensasi atas keterlibatan mereka dalam proses produksi. Hal itu
menunjukkan bahwa pasar bukan merupakan komponen ekonomi yang penting, baik
untuk memasarkan produksi maupun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat karena birokrasi
menentukan segala hal.
Di dalam usaha itu, para penguasa cenderung bekerja sama dengan orang asing
daripada dengan interprenur lokal. Hal itu dilakukan untuk menangkal munculnya
kelompok lokal yang mampu menyaingi kekuasaan raja karena keberhasilannya dalam
bidang ekonomi. Salah satu contoh adalah kasus yang terjadi di Aceh pada akhir
abad ke-16, ketika Sultan Ala’ad-din Ri’ayat Syah al-Mukammil memerintahkan
pembunuhan dan perampasan harta benda para orang kaya, karena kelompok itu
sangat berpengaruh dalam silih bergantinya lima orang sultan di kerajaan Aceh
antara tahun 1571 dan 1589. Sejak saat itu produksi dan perdagangan lada secara
eksklusif semakin didominasi oleh penguasa politik, terutama para uleebalang
yang merupakan penguasa otonom atas wilayah tertentu. Sejak awal abad ke-16,
perkebunan lada yang dikuasai kerajaan Aceh telah mencakup wilayah yang
sekarang berada di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Bengkulu.
Kehadiran perusahaan dagang Barat, terutama Inggris dan Belanda pada abad XVII
memperluas usaha perkebunan yang dilakukan oleh penduduk di beberapa wilayah di
kepulauan Indonesia, baik sebagai bagian dari aktivitas ekonomi penguasa
politik lokal maupun sebagai bagian dari politik penyerahan wajib yang berhasil
ditanamkan oleh perusahaan dagang Barat, seperti yang terjadi di Ternate,
Tidore, dan Ambon. Segera setelah Inggris menguasai Bengkulu, pesaing utama
Belanda itu memulai usaha perkebunan, terutama lada di wilayah pantai Barat
Sumatera. Sementara itu di Palembang, Jambi, dan Siak yang tidak berada di
bawah kekuasaan baik Aceh, Banten maupun perusahaan dagang Barat juga berhasil
mengembangkan perkebunan lada pada saat yang bersamaan.
Di Jawa, orang-orang Cina menyewa tanah-tanah desa untuk membuka perkebunan,
terutama perkebunan tebu. Pada abad ke-17 perkebunan dan pabrik gula sederhana
milik orang Cina sudah ditemukan di sekitar Batavia. Usaha perkebunan milik orang Cina
ini juga dapat ditemukan di wilayah yang masih dikuasai oleh Mataram. Usaha
perkebunan, terutama milik orang asing ini semakin berkembang ketika kekuasaan
Barat atas kerajaan-kerajaan lokal semakin luas dan dalam. Di tanah-tanah
partikelir, tanah yang dikuasai VOC yang dijual kepada pribadi-pribadi kaya di
Jawa terutama sejak tahun 1778, perbukaan perkebunan-perkebunan baru yang
ditanami berbagai jenis tanaman ekspor memperluas aktivitas usaha perkebunan di
Jawa. Perkembangan usaha perkebunan mencapai salah satu puncaknya ketika VOC
yang hampir bangkrut menerapkan kebijakan penanaman dan penyerahan wajib kopi
di Priangan, yang dikenal sebagai Preanger Stelsel menjelang berakhirnya abad
ke-18. Penanaman kopi di Priangan ini kemudian menjadi model dari tumbuhnya
usaha perkebunan yang diselenggarakan oleh negara pada abad berikutnya, yang
dikenal sebagai Kultuurstelsel atau biasa diterjemahkan sebagai Sistem Tanam
Paksa dalam historiografi Indonesia.
Modal Swasta dan Berkembangnya Perkebunan Besar
Memasuki abad ke-19, sebuah perubahan besar mulai terjadi dalam usaha
perkebunan di Indonesia.
Berbeda dari kebijakan-kebijakan sebelumnya yang bersifat terbatas, pemerintah
Hindia Belanda yang menggantikan posisi VOC berusaha memaksimalkan potensi
lahan-lahan yang subur, lahan-lahan yang belum diolah, dan tenaga kerja
penduduk lokal untuk menghasilkan berbagai jenis komoditi ekspor, terutama
kopi, tembakau, nila, dan gula. Di Jawa, pemerintah kolonial menerapkan
kebijakan Kultuurstelsel dalam rangka memanfaatkan secara paksa tanah-tanah
desa baik yang belum maupun yang telah diolah oleh masyarakat di daerah
Gubernemen sejak tahun 1830. Penduduk diharuskan menyerahkan tanah dan tenaga
kerja mereka dalam jumlah tertentu untuk menghasilkan berbagai komoditi ekspor
seperti yang telah disebutkan di atas untuk kepentingan negara kolonial.
Kebijakan yang sama tidak hanya terbatas dilakukan di Jawa. Seiring dengan
ekspansi militer dan perluasan kekuasaan politik kolonial, kebijakan pembukaan
perkebunan baru secara paksa ini juga dilakukan di pulau-pulau lainnya, seperti
tanam paksa kopi yang dilakukan di Sumatera Barat setelah berakhirnya Perang
Paderi. Penduduk Sumatera Barat yang telah mengembangkan perkebunan kopi bebas
sejak abad ke-18 dipaksa harus menyesuaikan proses produksinya dengan kebijakan
tanam paksa yang dilakukan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1840-an. Sebelum
itu usaha pembukaan perkebunan besar dengan tenaga kerja paksa telah gagal,
sehingga pemerintah menyerahkan kembali proses produksi dalam bentuk
perkebunan-perkebunan kopi yang dikelola oleh keluarga namun nilai produksi
ditentukan oleh pemerintah. Pembukaan perkebunan-perkebunan kopi, lada,
cengkeh, dan kelapa dengan cara yang hampir sama juga dilakukan di Palembang, Lampung,
Bengkulu, dan Minahasa pada waktu yang hampir bersamaan.
Seperti telah dilakukan oleh kerajaan-kerajaan lokal sebelumnya, pemerintah
Hindia Belanda memanfaatkan dengan baik jalur birokrasi. Di samping birokrasi
colonial, pemerintah colonial juga memanfaatkan birokrasi tradisional untuk
menjalakan usaha perkebunan yang dikuasai oleh negara itu. Sistem Tanam Paksa
di Jawa yang berbasis pada desa telah melibatkan pada pejabat lokal dari
tingkat bawah sampai bupati bersama-sama controleur sampai residen untuk
melakukan kontrol terhadap seluruh aktivitas yang berlangsung. Di Sumatera
Barat para tuanku laras, sebagian penghulu, dan kepala menjadi bagian penting
dari keberhasilan program itu. Di samping para birokrat kolonial, para elite
lokal itu menikmati keuntungan ganda berupa manipulasi terhadap produsen dan
imbalan yang diterima dari penguasa kolonial. Oleh sebab itu tidak mengherankan
jika para elite lokal ini berhasil membangun relasi politis dan ekonomi yang
erat dengan kekuasaan kolonial, yang pada titik tertentu menimbulkan konflik
dalam hubungan mereka dengan rakyatnya sendiri. Sementara itu bagi para elite
yang berusaha bersikap netral seperti yang ditunjukkan oleh banyak penghulu di
Sumatera Barat, kondisi ini telah menimbulkan kesulitan bagi para penghulu yang
berusaha melindungi rakyatnya dengan kuatnya tekanan kolonial serta adanya
kenyataan bahwa para penghulu ini juga menikmati keuntungan ekonomis dari
pelaksanaan sistem tanam paksa kopi itu. Pada saat bersamaan ketika berlaku
Sistem Tanam Paksa di tanah-tanah Gubernemen Jawa, sebuah perkembangan
perkebunan baru yang melibatkan para pemodal swasta Barat mulai terjadi di
Vorstenlanden atau Tanah Kerajaan di Yogyakarta dan Surakarta. Berbeda dengan pemahaman selama
ini bahwa perkembangan perkebunan besar milik pemodal swasta Barat baru
berlangsung setelah berlakunya Undang Undang Agraria 1870, penelitian yang
dilakukan Vincent Houben menunjukkan bahwa para pemodal swasta Barat telah
menyewa tanah-tanah lungguh milik raja dan para pangeran untuk membuka
perkebunan nila, tembakau, kopi, dan tebu. Sebagai contoh, dari 51.000 ton kopi
yang dihasilkan Jawa pada tahun 1845, 4.413 atau 8,6% berasal dari
Vorstenlanden, yang semuanya dihasilkan oleh kebun-kebun milik pemodal swasta
Barat. Bahkan ada bukti yang menyebutkan bahwa perkembangan perkebunan besar
milik pengusaha swasta di Jawa sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1816, jauh
sebelum diberlakukannya undang-undang agraria. Biarpun ada larangan terhadap
penyewaan tanah lungguh oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1823, sejak
tahun 1827 penyewaan itu berlangsung kembali.
Bukti-bukti lain menunjukkan bahwa perkebunan-perkebunan besar milik swasta
juga telah berkembang sejak Daendels dan Raffles menjual tanah-tanah di Bogor, Kerawang, dan
Priangan, terutama kepada pengusah-pengusaha swasta Barat dan Cina. Penjualan
perkebunan Cikandi Ilir dan Cikandi Udik antara tahun 1823 dan 1833 menjadi
contoh lain dari keterlibatan pengusaha swasta asing dalam perkembangan
perkebunan besar di Jawa sebelum tahun 1870. Bahkan pada saat Sistem Tanam
Paksa berlangsung, paling tidak 36.398 bau tanah Gubernemen di Pekalongan,
Surabaya, Pasuruan, dan Banyumas telah berubah menjadi perkebunan besar,
masing-masing mengusahakan lebih dari 1.000 bau milik pengusaha swasta. Pada
tahun 1826, NHM yang sangat berperan dalam penyelenggaraan Sistem Tanam Paksa
telah mendorong berkembangnya perkebunan besar milik swasta melalui sistem
kontrak konsinyasi dengan pemerintah. Perkembangan perkebunan milik pengusaha
swasta di Jawa semakin berkembang ketika pemerintah mengizinkan pembangunan
pabrik gula milik swasta di samping pabrik gula yang diusahakan oleh negara
setelah tahun 1850. Namun satu hal yang perlu dicatat berkaitan dengan
perkembangan perkebunan swasta itu, banyak dari perusahaan perkebunan itu
dimiliki oleh keluarga para pejabat pemerintah Belanda dan Hindia Belanda. Hal
itu dapat dilihat pada kasus perkebunan dan Pabrik Gula Purwodadi di Madiun
yang dimiliki oleh Baron A. Sloet van Oldruitenborgh yang merupakan menantu
dari P.J.B. Perez seorang anggota Konsil Hindia Belanda. Kepentingan keluarga
dan pribadi ini sering menimbulkan konflik dengan para birokrat lokal yang berusaha
membela kepentingan pemerintah. Para pengelola
perkebunan di Tegal misalnya mengeluh karena para pejabat lokal telah
menghalangi perkebunan dalam pengadaan tenaga kerja, sehingga ia dipindahkan ke
tempat yang lain. Di Rembang seorang residen berani mencabut izin usaha
beberapa perkebunan tembakau swasta yang dianggapnya telah melanggar tanpa
akibat apapun, namun penggantinya melakukan hal yang sama terpaksa harus
menghadapi pemecatan yang telah direkayasa dari atas. Perubahan kebijakan
ekonomi pemerintah seiring dengan semakin kuatnya kepentingan ekonomi para
pemilik modal Barat dan adanya perhatian yang lebih besar terhadap pulau-pulau
lain setelah tahun 1870 merupakan salah satu tonggak penting dalam pertumbuhan
yang semakin cepat usaha perkebunan di Indonesia. Perkebunan gula dan tembakau,
terutama milik swasta berkembang sangat luar biasa di Pulau Jawa sampai tahun
1930-an. Menurut data yang dipublikasi dalam Kolonial Verslag, luas areal
perkebunan gula yang diusahakan pemerintah menurun dari 28.167 hektar pada
tahun 1870 menjadi 3.875 hektar pada tahun 1890.
Sementara itu lahan yang dikelola perkebunan gula swasta meningkat dari 332
hektar pada tahun 1875 menjadi 25.075 hektar pada tahun 1890. Jumlah perkebunan
gula swasta juga meningkat dari 46 pada tahun 1875 menjadi 158, yang 24
diantaranya dimiliki oleh orang Cina pada tahun 1895. Kedudukan pemodal swasta
dalam perkembangan usaha perkebunan di Indonesia
pada masa kolonial menjadi semakin besar sejak akhir abad ke-19 dan awal abad
ke-20, ketika beberapa komoditi baru seperti karet dan teh mulai dikembangkan
dan pembukaan perkebunan besar di Sumatera dan Kalimantan.
Pembukaan perkebunan tembakau milik swasta di Jawa Timur dan Sumatera Timur
pada akhir abad ke-19 menandai sebuah era baru dalam usaha perkebunan, tidak
hanya bagi daerah sekitarnya melainkan juga di seluruh wilayah kekuasaan Hindia
Belanda selanjutnya. Pengerahan tenaga kerja dari luar daerah, khususnya tenaga
kerja kontrak bagi orang Madura di Jawa Timur dan orang Jawa, Cina, dan India
di Sumatera Timur pada satu sisi masih meneruskan beberapa ciri tradisi
perkebunan yang lama, namun pada sisi yang lain telah menciptakan komunitas
perkebunan baru yang unik dan berbeda dengan yang pernah ada sebelumnya.
Dua Lingkungan Perkebunan
Diilhami oleh tipologi yang dikemukakan oleh Clifford Geertz yang membedakan
ekologi “sawah-tegalan” dan “dalam Jawa-luar Jawa”, lingkungan sosial-ekonomis
dari perkebunan di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan proses
perkembangan historisnya. Pembedaan ini tentu saja tidak terlalu kaku, karena
beberapa ciri yang sama juga terdapat pada tempat yang berbeda. Lingkungan
pertama sebagian besar terdapat di Jawa, wilayah yang penduduknya mengalami
proses marginalisasi akibat sistem produksinya mengambil alih secara langsung
modal produksi yaitu tanah milik desa atau pribadi dan tenaga kerja yang
seharusnya digunakan oleh produsen untuk berproduksi bagi kepentingan ekonomi
rumah tangga sehari-hari. Proses produksi nila, tembakau, dan tebu menggunakan
tanah yang sama digunakan penduduk untuk menanam bahan makanan, khususnya padi.
Sementara itu, biarpun sebagian lahan perkebunan kopi dan teh menggunakan lahan
di dataran tinggi yang belum diolah, namun di banyak tempat kebun-kebun kopi
dan teh milik perusahan besar swasta menggunakan tegalan penduduk dan membatasi
upaya penduduk untuk membuka tegalan baru seiring dengan pertambahan penduduk
dari waktu ke waktu.
Di dalam lingkungan yang pertama ini, keterlibatan langsung masyarakat lokal di
dalam usaha perkebunan menjadi sangat intensif. Hampir sebagian besar tenaga
kerja dipenuhi oleh penduduk setempat, kecuali di daerah tertentu yang jarang
penduduknya atau dalam musim tertentu ketika tenaga kerja bebas dari luar juga
banyak digunakan. Tenaga kerja tidak hanya terbatas pada laki-laki dan orang
dewasa, dalam kenyataannya proses produksi juga melibatkan banyak tenaga kerja
perempuan dan anak-anak. Tekanan terhadap ekonomi desa menjadi sangat besar,
sehingga proses involusi seperti yang digambarkan Clifford Geertz terjadi di
beberapa tempat. Bahkan kajian yang dilakukan oleh Peter Boomgard menyatrakan
bahwa keterlibatan perempuan di luar sektor domestik terus meningkat seiring
dengan perkembangan perkebunan.
Pada saat yang sama, penduduk juga mampu memanfaatkan keberadaan teknologi baru
dan kesempatan ekonomi yang dimunculkan oleh perkembangan perkebunan.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Robert Elson di Pasuruan menunjukkan
bahwa disamping adanya proses involusi dan pemerataan kemiskinan pada komunitas
tertentu, penduduk di beberapa wilayah bahkan mampu memanfaatkan secara
maksimal irigasi yang dibangun bagi perkebunan tebu untuk meningkatkan produksi
padi mereka, sehingga daerah seperti Lumajang menjadi salah satu penghasil padi
utama di Jawa Timur. Di tempat lain, penduduk merespon secara positif
kesempatan ekonomi baru yang berkaitan dengan perkembangan perkebunan, seperti
membuka pasar dan membuat berbagai barang sebagai industri rumah tangga, baik
barang yang dibutuhkan oleh perkebunan maupun oleh para pekerjanya. Sebelum
lori dan kereta api menjadi alat transportasi utama, penduduk di sekitar
perkebunan juga memanfaatkan ternak mereka untuk memenuhi jasa angkutan yang
diperlukan oleh perkebunan.
Lingkungan kedua lebih banyak terdapat di perkebunan-perkebunan di Sumatera dan
Kalimantan. Di tempat ini terdapat pemisahan
yang tegas antara perkebunan sebagai pusat produksi komoditi untuk memenuhi
kebutuhan pasar dunia dengan lahan penduduk untuk menanam kebutuhan pangannya.
Biarpun secara agronomis lahan yang digunakan untuk membuka ladang atau huma
penduduk sama dengan lahan yang dimanfaatkan untuk perkebunan, sampai beberapa
dekade awal abad ke-20 belum terjadi persaingan antara kebutuhan lahan
perkebunan dengan kebutuhan penduduk menanam padi. Berbeda dengan lingkungan
yang pertama, sebagian besar perkebunan di lingkungan kedua dikembangkan di
daerah baru yang belum menjadi bagian dari sistem produksi masyarakat. Baru
pada masa kemudian ketika terjadi pertumbuhan penduduk yang sangat besar,
persoalan lahan ini muncul. Kebun-kebun tembakau, kopi, dan kemudian karet
serta kelapa sawit sebagian besar dibuka pada hutan-hutan tropis yang belum
dihuni oleh penduduk. Sebagian besar tanah itu merupakan tanah adat, yang
diubah statusnya oleh pemerintah kolonial melalui berbagai peraturan menjadi
tanah milik penguasa lokal atau tanah tidak terpakai sebelum dilimpahkan kepada
perusahaan perkebunan yang mendapat hak konsesi.
Kondisi ini menempatkan posisi politis para elite lokal menjadi seolah-olah
lebih penting, dan di beberapa daerah para elite itu bahkan mengalami
peningkatan status dari sekedar “kepala mukim”, “kepala kampung”, atau kepala
wilayah menjadi raja atau sultan, yang menurut konsep state domain berkuasa
atas tanah yang ada. Keadaan itu juga menimbulkan distorsi dalam konteks
politik, ketika satuan unit kekuasaan dari para kepala mukim, kepala kampung,
atau kepada wilayah yang mengalami mobilitas sosial semu itu tiba-tiba dipahami
sebagai kerajaan dalam pengertian negara. Padahal secara teoretik konseptual,
kedudukan para elite itu paling tinggi hanya dapat disetarakan dengan bupati.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tradisi historiografi Indonesia
sampai saat ini tidak bisa membedakan dengan jelas antara konsep chiefdom
dengan kingdom dalam membahas para elite itu.
Berbeda dengan kenyataan para elite di Jawa yang memiliki kemampuan mengerahkan
tenaga kerja melalui jaringan tradisionalnya untuk memenuhi kepentingan
perkebunan, para elite di lingkungan kedua itu ternyata tidak memiliki
kekuasaan untuk mengerahkan tenaga kerja penduduk yang ada di bawah
kekuasaannya. Hal itu tentu saja memperkuat pendapat bahwa sesungguhnya para
elite itu tidak lebih dari elite semu, yang menempati posisi tersebut karena
kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang ingin melegalisir pemindahan hak atas
tanah adat kepada perusahaan perkebunan melalui prinsip state domain. Kebutuhan
tenaga kerja dipenuhi oleh tenaga kerja dari luar, sementara jarang sekali
penduduk penduduk di sekitarnya yang bekerja sebagai buruh. Pengerahan tenaga kerja
luar ini dapat dijelaskan karena rendahnya tingkat populasi di sekitar lokasi
perkebunan baru itu dan penduduk setempat sudah memiliki kesempatan ekonomi
alternatif.
Di Sumatera Timur misalnya, kebutuhan tenaga kerja dipenuhi oleh tenaga kerja
kontrak yang berasal dari Cina, yang pada awal abad ke-20 mencapai 2/3 dari
seluruh pekerja yang ada. Pada akhir dekade pertama abad ke-20, jumlah pekerja
kontrak yang berasal dari Jawa terus meningkat sehingga jumlah pekerja Cina di
Sumatera Timur menurun lebih dari separuh. Peningkatan jumlah kuli kontrak dari
Jawa itu juga mulai merubah komposisi buruh yang bekerja di perkebunan menurut
jenis kelamin dan komposisi umur, yang menunjukkan semakin banyaknya pekerja
wanita dan kemudian anak-anak. Selain melalui sistem kontrak, kebutuhan tenaga
kerja untuk perkebunan di beberapa tempat seperti Jambi, Palembang, Bengkulu, dan Lampung dipenuhi
melalui program kolonisasi. Berbeda dengan prinsip dasarnya yang direncanakan
untuk pengembangan pertanian pangan, sebagian besar dari orang yang dipindahkan
dari daerah miskin dan bencana di Jawa itu ternyata lebih banyak yang
dipekerjakan pada perkebunan-perkebunan, di samping untuk proyek-proyek
pembangunan lainnya yang dilakukan pemerintah.
Kebutuhan tenaga kerja dari luar yang besar itu kemudian menarik para pendatang
dari berbagai wilayah ke sekitar perkebunan, baik sebagai pekerja maupun bukan.
Hal ini berbeda dengan lingkungan pertama yang sudah dihuni oleh penduduk
ketika perkebunan dibuka, kehadiran pendatang sangat terbatas. Jika pun ada,
kedatangan pendatang itu hanya bersifat musiman, dan hanya sedikit yang
memutuskan untuk menetap. Namun di lingkungan tipe kedua, daerah sekitar
perkebunan dipenuhi oleh para pendatang yang menetap. Seperti yang terjadi di
banyak tempat di Sumatera Timur dan Lampung, penduduk pendatang yang berasal
dari luar lingkungan adat setempat menjadi lebih dominan. Pada awalnya mereka
membuka lahan-lahan yang ada di luar tanah konsesi perkebunan baik untuk
pemukiman maupun lahan produksi. Dalam perkembangan waktu, para pendatang ini
mulai mengolah lahan-lahan yang telah ditetapkan sebagai tanah konsesi
perkebunan, termasuk di lahan-lahan produksi. Hal inilah yang kemudian menjadi
salah satu faktor yang menimbulkan persoalan yang kompleks dalam masalah
pertanahan antara perkebunan dengan masyarakat.
Di dalam konteks yang lain, dua lingkungan perkebunan ini dapat dilihat dari
kualitas ekonomi komunitas perkebunan. Eksploitasi, diskriminasi, kemiskinan,
dan penderitaan merupakan cerita utama yang ada di sekeliling masyarakat
perkebunan di Indonesia
pada masa kolonial sampai saat ini. M. Said, Jan Breman, dan A.L. Stoler
misalnya menggambarkan begitu rupa tentang kehidupan masyarakat perkebunan,
khususnya di Sumatera Timur yang harus menanggung beban yang sangat luar biasa.
Kondisi yang sama juga masih dihadapi oleh para buruh di perkebunan-perkebunan
tembakau di Besuki sampai saat ini. Para
pekerja perempuan dan anak-anak khususnya harus menghadapi diskriminasi sosial,
ekonomi dan bahkan kekerasan seksual secara terus menerus diwarisi dari satu
generasi ke generasi-generasi berikutnya.
Sebuah kajian yang paling akhir tentang perkebunan pada masa kolonial
menunjukkan telah terjadi peningkatan kualitas non fisik seperti kesehatan dan
perlakukan kasar para mandor dan tuan kebun yang semakin berkurang, namun
pendapatan riil para pekerja di Sumatera Timur tidak mengalami perubahan yang
berarti sejak awal pembukaan perkebunan sampai tahun 1920. Sampai tahun 1910
sebagai contoh, setiap pekerja laki-laki Jawa menerima 30 sen per hari, dan
jumlah ini meningkat 60% pada tahun 1920. Kenaikan ini tidak ada artinya jika
dibandingkan dengan kenaikan biaya hidup, khususnya kenaikan harga beras yang
juga mencapai 60%. Selain itu biarpun angka kematian pekerja turun pada tahun
1910-an dibandingkan dengan kondisi di tahun-tahun awal pembukaan, dalam
kenyataannya fluktuasi angka kematian ini tetap menunjukkan kecenderungan yang
tinggi mencapai 20 per 2.000 orang, seperti yang terjadi sepanjang dekade kedua
abad ke-20. Gambaran yang serupa juga terdapat di berbagai perkebunan besar
lain milik pemodal swasta di Palembang,
Kalimantan Selatan, Jambi, Lampung, dan Bengkulu.
Gambaran yang agak berbeda tentang perkebunan akan didapat jika komunitas
perkebunan dilihat sebagai sebuah totalitas. Perkebunan tidak hanya berisi para
pekerja yang menderita melainkan juga pekerja yang menikmati keuntungan
finansial yang sangat besar dari hasil perkebunan itu. Ketika banyak pekerja
yang diberhentikan, perusahaan merugi, dan para pemegang saham tidak menerima
deviden pada masa depresi ekonomi tahun 1930-an, sebagian pekerja perkebunan
yang berada pada tingkat tertentu masih menikmati tantiem dalam jumlah yang
sangat besar dibandingkan dengan rata-rata penghasilan penduduk dan pegawai
pemerintah atau swasta umumnya. Ironisnya, warisan kolonial ini ternyata tidak
hilang ketika Indonesia
mencapai kemerdekaan, dan perkebunan tidak lagi dikelola oleh orang asing.
Pada masa pascasaproklamasi kemerdekaan, berbagai fasilitas dan sistem yang
menguntungkan para elite perkebunan terus dipertahankan. Dalam konteks ini,
kemerdekaan dan berakhirnya kolonialisme dapat dikatakan tidak mempengaruhi
keberlanjutan eksploitasi dan ketimpangan yang telah menjadi ciri komunitas
perkebunan pada masa-masa sebelumnya. Bagi sebagian besar komunitas perkebunan,
kemerdekaan hanya sebuah jargon politik yang tidak pernah menjadi bagian dari
realitas kehidupan mereka sehari-hari. Seperti pada masa-masa sebelumnya, akses
mereka terhadap tanah juga terbatas, kalau tidak mau disebut tertutup. Oleh
karena itu tidak mengherankan jika konflik pertanahan tetap merupakan sesuatu
yang laten dalam komunitas perkebunan pascaproklamasi kemerdekaan, dan bahkan
dalam beberapa hal menjadi lebih buruk. Sistem jaluran yang dipraktekkan di
perkebunan Sumatera Timur pada masa kolonial yang memungkinkan adanya akses
terbatas terhadap tanah bagi para buruh sebagai contoh, ternyata tidak
berlanjut dengan reformasi agraria yang memberi pengakuan hak atas tanah kepada
para penggarapnya ketika Indonesia
menjadi sebuah negara merdeka. Bahkan beberapa bukti menunjukkan akses para
buruh terhadap tanah menjadi semakin terbatas, dan bahkan hilang sama sekali
ketika terjadi Indonesianisasi terhadap perkebunan. Di tempat lain, lahan
masyarakat yang telah mengambil alih pengelolaan lahan perkebunan pada masa
Jepang dan awal kemerdekaan, terpaksa harus kecewa atau berada pada
ketidakpastian secara terus menerus ketika harus berhadapan dengan pengelola
baru yang dianggap resmi oleh pemerintah setelah kebijakan nasionalisasi atau
Indonesianisasi tahun 1950-an.
Hal itu menunjukkan dua lingkungan di atas tidak hanya telah membentuk sebuah
struktur melainkan juga sebuah kultur komunitas perkebunan pada masa yang
secara politik berbeda itu. Hampir sama dengan cerita tentang masyarakat miskin
perkotaan di Amerika Latin yang telah terjerat oleh culture of poverty seperti
yang dikemukakan oleh Oscar Lewis, secara historis komunitas perkebunan di
Indonesia juga telah menciptakan struktur sekaligus kultur perkebunan yang
sangat sulit untuk diubah. Baik para pekerja kuli maupun pekerja mandor dan
pekerja menejer telah terjerat dalam sebuah lingkaran setan atau tejebak di
dalam kotak Pandora, yang mereka sendiri tidak tahu atau pura-pura tidak tahu
pangkal dan ujung serta cara mencari jalan keluarnya. Jikalau terjadi
perubahan, maka perubahan itu tidak terjadi secara struktural melainkan hanya
parsial dan tidak berkelanjutan. Mereka yang tertindas saat ini harus
menghadapi kenyataan historis bahwa nenek buyut mereka dulu juga tertindas
biarpun para penindas saat kemudian ternyata bukan keturunan para penindas
dahulu.
Perkebunan sebagai sebuah komunitas tetap hidup dalam realitas yang sama ketika
komunitas lain telah berhasil memutuskan identitas mereka dari masa lalu yang
tidak menyenangkan itu. Persoalannya tidak lagi dapat dijelaskan dalam konteks
ekploitasi kapitalis terhadap proletar melainkan produk dari upaya untuk
membangun hegemoni kultural dan memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomis yang
tidak mengenal batas kelas, aliran atau konsep-konsep lain yang setara.
Interelasi yang melibatkan banyak variabel telah menghasilkan orang tertindas
dan penindas yang hampir-hampir permanen tanpa memerlukan terus hadirnya
colonized dan colonizer.
Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana cara memutuskan diri dari belenggu
masa lalu itu? Tentu saja tidak ada resep instan yang dapat digunakan. Salah
satu cara adalah memahami secara benar perkembangan historis masyarakat
perkebunan dari masa lalu hingga saat ini sebagai sebuah keberlanjutan struktural
maupun kultural. Jika pemahaman itu tidak dilakukan, akan sangat sulit bagi
komunitas perkebunan untuk keluar dari warisan sejarah yang hanya menyenangkan
segelintir anggotanya saja dan menyengsarakan sebagian besar yang lain.
Penutup
Sebelum tulisan ini diakhiri, satu hal yang perlu diperhatikan bahwa
pembicaraan tentang perkebunan jarang sekali memperhatikan masalah perkebunan
atau lebih tepat kebun rakyat. Berdasarkan penelitian terhadap sejarah ekonomi
perkebunan rakyat di Jawa maupun di pulau-pulau lainnya pada masa kolonial,
terdapat sebuah alur perkembangan yang berbeda dibandingkan dengan sejarah
perkebunan besar. Jika selama ini dikatakan bahwa para pekebun kecil itu tidak
rasional dalam mengusahakan perkebunannya dan perkebunan kecil juga tidak mampu
bersaing dengan perkebunan besar, sejarah perkebunan karet rakyat di
Kalimantan, Palembang, Jambi, Sumatera Timur, dan Kalimantan Selatan misalnya
memberi gambaran yang bertolak belakang. Para
pekebun kecil itu ternyata mampu menimbulkan frustrasi berkepanjangan pada para
pemilik perkebunan besar.
Dalam banyak kenyataan memang kebun yang memiliki struktur dan sistem yang
berbeda itu tidak mampu mendukung perubahan ekonomi secara structural. Namun
satu hal yang sering dilupakan bahwa hal itu bukan karena kebun tidak
kompetitif secara ekonomis, dan komunitas kebun tidak mampu menghasilkan
keputusan-keputusan ekonomi yang rasional. Dari berbagai kajian yang telah
dilakukan terbukti bahwa kebun merupakan korban dari perkebunan ketika para
pemilik modal, penguasa dan kelompok-kelompok kepentingan luar lainnya ikut
campur dalam proses produksi dan pasar. Kebun secara sistematis mengalami
marginalisasi untuk membuka kesempatan kepada para pemilik modal besar atau
untuk membangun citra politik penguasa. Padahal seperti juga pekarangan, kebun
memiliki potensi ekonomi yang sangat besar bagi masyarakat. Sayangnya,
historiografi Indonesia tidak memberi tempat yang layak kepada historisitas
kebun dan pekarangan berserta komunitasnya yang sebenarnya mampu menghadirkan
rakyat sebagai “pahlawan”, namun sebaliknya memberikan ruang yang sangat besar
kepada perkebunan yang hanya menggambarkan rakyat sebagai korban dan
“pecundang” dan secara langsung sekali lagi melegitimasi peran penting orang
asing dalam sejarah Indonesia di masa kolonial seperti yang menjadi ciri utama
kolonialsentrisme. [db]
Dafar Pustaka
Bambang Purwanto, “The Economy of Indonesian Smallholder Rubber, 1890s-1940”,
J.Th. Lindblad, ed., Historical Foundation of a National Economy in Indonesia,
1890s-1990. (Amsterdam: KNAW, 1996).
Booth, Anne, Agricultural Development in Indonesia. Sydney: Allen & Unwin, 1988.
Booth, Anne et al., ed., Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1988.
Breman, Jan, Taming the Coolie Beast. New Delhi:
Oxford University Press, 1989.
Elson, R.E., Javanese Peasant and the Colonial Sugar Industry. Impact and
Change in an Easr Java Residency, 1830-1940. Singapore:
Oxford University Press, 1984.
Houben, Vincent J.H., “Private Estates in Java in the Nineteenth Century. A
Reaprisal”, J.Th. Lindblad, ed., New Challenges in the Modern Economic History
of Indonesia.
Leiden:
Programme of Indonesian Studies, 1993.
Houben, V.J.H., Thomas Lindblad, et al., Coolie Labour in Colonial Indonesia.
A Study of Labour Relations in the Outer Islands,
c. 1900-1940. Wiesbaden:
Harrassowitz Verlag, 1999.
Mubyarto et al., Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan. Yogyakarta:
Aditya Media, 1992.
Pelzer, Karl J., Toean Keboen dan Petani. Politik Kolonial dan Perjuangan
Agraria di Sumatra Timur 1863-1947. Jakarta:
Sinar Harapan, 1985.
—, Sengketa Agraria Pengusaha Perkebunan Melawan Petani. Jakarta: Sinar Harapan, 1991.
Sartono Kartodirdjo & Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media, 1991.
Soegijanto Padmo, Tobacco Plantations and Their Impact on Peasant Society and
Economy in Surakarta
Residency:1860-1980s. Yogyakarta: Aditya
Media, 1999.
Van der Eng, Pierre,
Agricultural Growth in Indonesia Since 1880. Groningen:
Universiteitsdrukkerij Rijkuniversitiet Groningen,
1993.