Oleh:
Soegijanto Padmo
1.Pengantar
Kota
sebagai suatu pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial dan budaya baru
berkembang dengan pesat sekitar dua abad terakhir. Dengan kemajuan
teknologi yang ditandai dengan munculnya Revolusi Industri serta
dikembangkannya berbagai industri massa membuat berbagai kota-kota
tumbuh dengan pesat. Pertumbuhan itu ditandai antara lain dengan
dibangunnya gedung baik untuk pemukiman, pelayanan publik maupun
kegiatan industri; sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi;
serta urbanisasi yaitu arus kedatangan penduduk pedesaan ke kota (Lihat
http://en.wikipedia.org/”Urban History”; http://en.wikipedia.org/”Urban
Geography”).

Pada pertengahan abad ke-19 kota-kota di Jawa masih
merupakan kota tradisional meskipun beberapa kota di pantai utara Jawa
sudah berfungsi sebagai kota pelabuhan yang melayani pelayaran antar
pulau antara Jawa-Banjarmasin-Makasar; serta Jawa- Singaraja; maupun
Jawa-Jambi-Malaka (O’Campo, 1987; Mashuri, 2000; Singgih Tri
Sulistiyana, 1999). Sementara itu kota di pedalaman menjadi pusat
kegiatan ekonomi dan politik di hinterland yang bersifat agraris feudal.
Apabila dalam proses perkembangannya kota pantai memperoleh dukungan
dari kegiatan perdagangan antar pulau maka perkembangan kota pedalaman
didukung oleh kemampuan industri pedesaan serta industri manufaktur yang
berkembang di kota, serta yang muncul pada paruhan kedua abad ke-19
adalah industri perkebunan (Lihat Soegijanto Padmo, 1999; Fernando,
1982; O’Malley, 1988; Loekman Sutrisno, 1982; dan Elson, 1982). Sebagai
pusat kegiatan ekonomi, kota mempunyai berbagai kegiatan
ekonomi seperti kegiatan industri dan manufaktur, serta kegiatan
pelayanan dan jasa yang mencerminkan tahap perkembangan kehidupan
masyarakat kota yang semakin kompleks. Dalam makalah ini akan dibahas
tentang hubungan antara perkembangan kota Surakarta dengan ekonomi
perkebunan pada periode 1860-1940.
2.Surakarta dan Perusahaan Perkebunan.
Kota
Surakarta dibangun pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono II sebagai
ganti Kartosuro yang dianggap tidak layak lagi sebagai ibukota kerajaan.
Wilayah Kasunanan Surakarta seluas 6.215 kilometer persegi dengan
penduduk 358.230 orang pada 1838 menjadi 2.049.547 jiwa pada 1920
(Deskripsi pada bagian ini berdasarkan pada Suhartono, 1991; Sariyatun,
2003; Suyatno, 1982 kecuali apabila disebut secara khusus). Wilayah
kasunanan Surakarta merupakan daerah pertanian yang subur terutama
daerah barat yaitu daerah Pajang dan daerah di bagian timur yaitu daerah
Sokaowati merupakan daerah yang kurang subur.
Sejak dasawarsa
pertama abad ke-19 Vorstenlanden yaitu daerah kerajaan Jogjakarta dan
Surakarta persewaan tanah telah dilakukan baik oleh orang Cina maupun
orang Eropa. Pada tahun 1816 sampai 1821 misalnya di Surakarta terdapat
16 , 6, 8, 19, 50 dan 27 orang Belanda yang menyewa lahan, sementara itu
baru pada 1820 terdapat seorang Cina dan pada 1821 terdapat 63 orang
Cina lain menyewa lahan di Surakarta. Di Jogjakarta sejak tiga tahun
sebelumnya yaitu pada 1814 telag ada 3 orang Belanda yang menyewa lahan
Sultan untuk membangun peristirahatan di Bedoyo. Pada tahun berikutnya
sampai tahun 1820 terdapat masing-masing 2, 8, 19, 30, 2, dan 1 orang
Belanda menyewa lahan di Jogjakarta. Seperti halnya di Surakarta baru
pada 1815 orang Cina mulai menyewa lahan di Jogjakarta (Soegijanto
Padmo, 1999:47).
Perkebunan yang dilakukan pada masa awal
meliputi tanaman semusim seperti indigo, padi, serat, maupun tanaman
keras seperti kopi. Sampai dengan pertengahan abad ke-19 sifat
pengusahaan tanaman perkebunan masih bersifat coba-coba dengan cirinya
antara lain bahwa kegiatan itu merupakan perusahan patungan
antara beberapa orang atau keluarga kaya, mengusahakan di lahan
persawaan yang relative sempit yaitu antara 30-50 bau, menguasahakan
tanaman local seperti padi, serat, dan kopi, menggunakan teknologi
sederhana, produksi skala kecil, serta pemasaran di pasar local.
Perkebunan pada masa awal belum menunjukkan adanya pembedaan antara
tanaman dataran rendah seperti tembakau dan tebu bukannya padi dan serat
maupun tanaman pegunungan atau dataran tinggu seperti kopi karena
berbagai tanaman itu ditanam di dataran rendah seperti di Gantiwarno,
Klaten. Beberapa tanaman yang semula lebih dimaksudkan sebagai tanaman
hias seperti tanaman kopi, di sekitar tempat peristirahatan Keluarga
Kasunana maupun orang Belanda seperti di Tawangmangu pada masa
berikutnya diusahakan dalam skala luas sebagai perkebunan.
Perkembangan
perusahaan perkebunan di Surakarta berjalan cukup pesat bukan hanya
untuk perkebunan di wilayah dataran rendah yang subur tetapi juga
perkebunan yang diusahakan didataran tinggi seperti di lereng timur
Gunung Merapi serta perbukitan di sekitar Tawangmangu.
Jumlah perusahaan
serta tanaman yang diusahakan. Sistem tanam Paksa yang
diterapkan pemerintah colonial di Tanah Jawa sebagai cara untuk
memperoleh penyerahan wajib atas hasil bumi pada periode 1830-1870 tidak
dapat diterapkan di wilayah Kerajaan yang masih dianggap memiliki
kekuasaan. Meskipun demikian pada kurunntersebut para pengusaha Eropa
berhasil memperoleh kesempatan menyewa lahan para bangsawan untuk
mengusahakan tanaman perkebunan seperti indigo, gula, dan kopi. Para
pengusaha Belanda, yang dilarang membuka usaha di daerah lain di jawa,
cenderung mengkonsentrasikan usaha mereka di Wilayah Kerajaan terutama
setelah 1842.
Pada pertengahan abad ke-19 beberapa tanaman
perkebunan memperoleh tempat yang penting di Surakarta. Antara tahun
1842-1849 jumlah produksi kopi di wilayah Mangkunegaran adalah 2.169
kuintal sementara wilayah Kasunanan memproduksi 39.262 kuintal. Dalam
waktu tiga tahun, yaitu antara 1861-63, produksi meningkat menjadi
12.127 kuintal di wilayah Mangkunegaran dan 38.020 kuintal di wilayah
Kasunanan. Pada 1863, produksi indigo di wilayah Surakarta diperkirakan
32.597 kilogram (Pringgodigdo, 1950).
Tahun 1870 dengan
dicanangkannya Undang-undang Agraria menandai berakhirnya pelaksanaan
STP di Jawa. Kebijakan baru ini bertujuan untuk mendukung perkembangan
perkebunan swasta di Tanah Jajahan, yang secara nyata mendorong
meningkatnya jumlah perusahaan perkebunan yang beroperasi di tanah jawa
termasuk Surakarta.
Bebarap tanaman tertentu seperti indigo,
gula, dan kopi, tetap menjadi tanaman penting pada kurun system liberal.
Setelah tahun 1915, proses penggabungan perusahaan swasta Belanda
dimulai. Beberapa perusahaan kecil yang merasa kurang kuat untuk
bersaing dalam usaha diambil alih oleh perusahaan besar sehingga
perusahaan perkebunan yang semula berjumlah 98 menjadi 80 perusahaan
pada 1920. Meskipun jumlah perusahaan berkurang namun jumlah modal yang
ditanam serta lahan yang dikuasai bertambah. 5
Pada 1906
dikeluarkan Staatblad nomor 93 yang memuat peraturan pemerintah colonial
tentang penyewaan lahan di Surakarta yang memberi hak menyewa lahan
kepada dua pihak yaitu
Orang Belanda, dan Orang Eropa lain yang mempunyai kegiatan usaha serta perusahaan dagang yang didirikan di Hindia Belanda.
Dengan
adanya peraturan ini maka orang Cina yang pada awal abad ke-19
mendominasi persewaan lahan di Surakarta harus melepaskan usahanya dalam
persewaan lahan di Surakarta.
Pengusaha swasta Belnda menyewa lahan
dari pemegang hak atas tanah atau patuh, yaitu pejabat dan kerabat
Sunan. Pada prakteknya, mereka menyewa hak dari patuh termasuk hak
menggunakan bekel dan penduduk guna mengguasahakan tanaman perkebunan.
Ini berrti bahwa penduduk desa yang dikoordinasikan oleh bekel,
mengalami beban kerja yang berat di perkebunan. Perkebunan gula terutama
memerlukan kerja berat dari petani (Geertz, 1963).
Hubungan
antara penyewa lahan dengan pemegang hak tanah apanage dibawah control
Patih atau Bupati Nayoko. Sistem sewa tanah untuk tanaman perkebunan
dilakukan dengan cara system glebagan, yaitu rotasi dalam penggunaan
lahan. Hak atas tanah dibagi menjadi dua blok yaitu blok A dan blok B.
Perusahaan perkebunan diberi hak menggunakan lahan blok A padatahun
genap dan menggunakan blok B pada tahun ganjil. Di kala perkebunan
menggunakan lahan blok A maka petani berhak mengerjakan lahan di blok B
demikian sebaliknya (Adatsrechtbundels, Vol, 19:370; Supomo,
1927:44-45). Dalam system persewaan ini, pengusaha Belanda memperoleh
hak para patuh, sementara bekel dan penggarap diwajibkan bekerja untuk
kepentingan perusahaan perkebunan. Sistem serupa dipraktekkan di
Jogjakarta, dimana dampak yang berat pada bekel dan para petani
penggarap dilukiskan oleh Selo Sumarjan (1962:33-34). 6
3.Kegiatan Ekonomi dan Pembangunan Sarana Prasarana Kota
Pengaruh
perkebunan Eropa thd ekonomi petani sangatlah besar, terutama pada
periode STP dan system liberal. Dalam system apanage, bekel menguasai
lahan dengan luasan tertentu dengan persetujuan patuh termasuk penduduk
yang tinggal di tempat tersebut. Hak penduduk atas lahan itu adalah hak
anggaduh atau hak menggarap. Patuh mempunyai hak memperoleh tenaga kerja
dari penggarap yang disebut bau suku dan pasumbang, yang diperoleh saat
ia punya kerja atau acara tradisional lainnya. Selain itu penggarap
juga wajib bekerja di lahan patuh yang lain yang disebut kerja kuduran.
Peraturan
tentang kerja wajib perkebunan mulai dilaksanakan pada 23 Agustus1909
yang kemudian dikuatkan dengan peraturan Sunan untuk daerah Kasunanan
dengan Rijksblad Surakarta, no. 23, 1917 dan untuk Mangkunegaran dalam
Rijksblad Mangkunegaran, no. 23, 1920. Tujuan dikeluarkannya aturan ini
adalah untuk menjamin agar tenaga yang diperlukan perusahaan perkebunan
tersedia setiap saat diperlukan. Jenis pekerjaan adalah bermacam-macam.
Pertama, intiran, yaitu kerja di lahan perkebunan selama 10 jam setiap
lapan atau 35 hari. Kedua, jaga malam di perkebunan. Ketiga, gugur
gunung, yaitu kerja kolektif tanpa upah untuk kepentingan desa atau
perkebunan. Lazimnya gugur gunung digunakan untuk memperbaiki atau
memelihara saluran irigasi. Bekel dan penggarap bertangung jawab atas
pemeliharaan saluran irigasi. Warga desa yang bebas dari kerja wajib ini
adalah bekel dan wong numpang, yaituwarga desa yang tidak memiliki
rumah dan tanah.
Di Surakarta, petani melakukan kerja wajib
dengan upah di perkebunan yang disebut glidig. Penggarap wajib bekerja
di perkebunan dengan pengawasan bekel yang melakukan fungsinya sebagai
pemimpinnya orang kecil atau pangarepe wong cilik. Bekel dan penggarap
yang melalaikan kerja wajib akan menerima hukuman berupa kerja wajib
tanpa upah selama tiga bulan hanya memperoleh makanan ringan. Dalam
system glidig ini seperti dilaporkan oleh Pringgodigdo (loc.cit)
penggarap hamper tidak punya waktu untuk mengerjakan lahan yang menjadi
hak mereka. Keadaan inilah yang memicu munculnya system penyakapan
dimana wong numpang dapat memperoleh lahan garapan dengan system maro.
Kerja
wajib di perkebunan yang menyita sebagian besar waktu penggarap
sehingga mereka tidak punya waktu untuk menggarap lahannya merupakan
berkah bagi wong numpang. Dalam penelitian yang dilakukan di Klaten
Soegijanto Padmo (1999) melaporkan bahwa desa perkebunan kuli penggarap,
isteri dan anak-anaknya harus dikerahkan ke ladang perkebunan agar
terbebas dari hukuman. Sementara itu system penyakapan yang lazim adalah
system maro dimana seluruh sarana produksi menjadi tanggung jawab
penyakap. Dengan meningkatnya jumlah penduduk yang tidak memiliki lahan
garapan sementara lahan garapan relative stabil, sebagimana dikemukakan
oleh Geertz (1963) akan terjadi proses involusi dimana syarat penyakapan
semakin berat sementara imbalan yang diterima oleh penyakap semakin
kecil.
Prinsip kerja bebas yang diterapkan oleh pemerintah pada
awal abad ke-20 memperoleh dukungan pengusaha swasta sampai dengan Masa
depresi Ekonomi. Pada masa ini ekonomi uang sedemikian dasyat merasuk ke
dalam kehidupan masyarakat Surakarta. Perusahaan perkebunan yang ada di
Surakarta tersebar dari Prambanan-Sorogedug di bagian barat sampai
Gondang-Sragen di ujung timur, serta di Wonogiri di ujung selatan sampai
Boyolali dan lereng Merapi di ujung utara dapat dijumpai perkebunan
semusim seperti tebu dan tembakau maupun tanaman tahunan seperti kopi
dan teh. Perkebunan itu memerlukan sejumlah besar tenaga kerja yang
bukan hanya berupa petani laki-laki dewasa tetapi juga tenaga wanita dan
anak yang diperkerjakan pada berbagai pekerjaan baik di ladang maupun
di emplasemen, serta perjaan yang rutin setiap saat harus dikerjakan
sampai pada pekerjaan incidental. Dapat dikatakan bahwa pada masa
jayanya perkebunan penduduk pedesaan lebih memilih bekerja di perkebunan
daripada sebagai penggarap atau pemilik tanah atau kuli kenceng pada
Reorganisasi Agraria 1916.
Fenomena semacam ini juga ditemukan di
Pasuruan. Dalam penelitian yang dilakukan di Pasuruan Elson (1982)
mengatakan bahwa perkebunan tebu telah mendorong munculnya kelas baru
yaitu tukang grobag. Mereka merupakan kelompok masyarakat baru yang
berhasil menangkap peluang ekonomi yang diciptakan oleh ekonomi
perkebunan. Di Surakarta rupanya transformasi social mulai menunjukkan
bentuknya antara lain dengan 8
munculnya kelompok baru dalam
masyarakat pedesaan adalah kelompok masyarakat yang aktif dalam sector
sekunder yaitu pengolahan hasil pertanian serta manufaktur lain seperti
pembuatan pakaian atau konfeksi, pembuatan mebeler atau alat rumah
tangga atau sector tertier seperti penjualan jasa angkutan, pemasaran,
dan hiburan.
Tentang upah yang diperoleh kuli, Suhartono (ibid)
melaporkan bahwa buruh wanita dan anak-anak dipekerjakan di gudang,
kebun kopi dan tembakau, sedangkan laki-laki diserap dalam kegiatan di
pabrik atau los pengeringan dan kebun tebu dan tembakau. Upah yang
diterima tergantung ringan-beratnya pekerjaan Upah harian yang diberikan
pada 1832 sebesar 10 sen mengalami kenaikan pada 1864 menjadi 12,5 sen
dengan memperoleh makan sekali. Pada 1865 upah dinaikkan menjadi antara
20-50 sen. Di pabrik gula upah kerja siang hari berkisar antara 20-35
sen, untuk malam hari antara 22- 40 sen, dan untuk kerja yang berat
dibayar 50 sen.
Sistem upah juga dibedakan antara kuli tetap
dengan kuli lepas. Pada 1875 kuli tetap menerima upah sebesar f.9-f.20
sebulan. Kuli harian menerima 24-40 sen, wanita dan anak-anak diupah 15
sen, sedangkan tukang menerma upah sebesar 25 sen sampai f.1. Dengan
adanya pendapatan berupa uang kontan dari upah yang diterima oleh kuli
penggarap, isteri dan anaknya itu berarti terdapat daya beli dalam
masyarakat. Kenyataan ini diketahui oleh warga desa terutama wong
numpang. Mereka dengan sigap memproduksi hasil pertanian dan pekarangan
berupa umbi-umbian dan buah-buahan yang dijajakan pada saat hari gajian
setiap Sabtu sore dua minggu sekali di depan pabrik. Saat seperti itu
puluhan orang dengan membawa uang siap membeli apa saja di dijajakan
oleh penjual. Barang yang dijajakan yang semula berupa hasil pertanian
berkembang menjadi hasil kerajinan serta barang lain yang berasal dari
luar desa. Demikian pula tempat trasaksi antara penjual dan pembeli
sudah tidak hanya dilakukan di sepanjang jalan di depan pabrik tetapi
perlu dibuatkan pasar secara khusus di suatu tempat yang tidak jauh dari
bangunan pabrik seperti yang dapat diamati di perkebunan Wedi-Birit
yang berlokasi di Kecamatan Wedi.9
Perkembangan industri pedesaan
dan manufaktur mengalami kenaikan pada akhir abad ke-19. Pada tahun
1890 misalnya kerajinan berkembang dan hasilnya dijual di pasar¬pasar
yang ada di sekitar perkebunan maupun pasar di luar daerah Surakarta.
Kerajinan batik tulis yang semula menjadi monopoli keluarga bangsawan
sejak 1890 menjadi monopoli orang Cina. Pada waktu itu pemasaran kain
batik sudah menjangkau pasar di seluruh daerah Kejawen dan Priangan
(AVS, 1897). Kerajinan bamboo, rotan dan anyaman dipasarkan di pasar
local. Kerajinan kuningan seperti bokor, talam, dan pendok keris
berkembang di Solo. Alat pertanian dan rumah tangga dari bahan besi dan
tembaga dijual di pasar di Daerah Kerajaan. Payung yang menjadi status
simbul social merupakan kerajinan rumah tangga yang cukup lama
berkembang seperti di desa Juwiring. Demikian pula kerajinan gerabah di
Bayat, Klaten. Pembuatan perahu terhenti ketika jalan kereta api dibuka
untuk jurusan Solo-Surabaya pada 1884. Selain barang dari kulit, di
pasar dan desa banyak beredar minuman keras, ciu, dan rokok wangen,
sebagai barang penikmat Orang Cina membuat soya dan taoco dan kecap dari
kedelai yang dijual di warung¬warung.
Daerah Kejawen relative
diuntungkan karena topografi yang landai. Prasarana transportasi dn
komunikasi tidak menuntut dibangun dengan konstruksi yang canggih karena
kedalaman sungai memungkinkan sungai-sungai diseberangi. Demikian pula
sarana angkutan seperti gerobak, cikar dan angkutan manusia lazim
digunakan pada oertengahan abad ke-19 (Lihat Carey, 1986). Lebih jauh
Carey juga mendeskripsikan kecuali tentang produksi dan pengolahan hasil
pertanian seperti kacang tanah, minyak klentik, dan kain tenun dan kain
batik juga jaringan perdagangan yang menghubungkan antara daerah
produsen di Kedu dengan berbagai pasar di pusat perdagangan yang ada di
daerah lain di pedalaman Jawa Tengah maupun pantai utara Jawa. Jaringan
transportasi antara pedalaman dengan pantai utara itu bukan saja
memungkinkan terjadinya transaksi dagang antara produsen dengan pasar
tetapi juga menjadi saluran masuknya barang dari luar ke pedalaman.
Jangkauan
perdagangan di pedalaman masih relative dekat, meskipun angkutan untuk
jarak yang relative jauh digunakan gerobak dan cikar dengan daya tempuh
sekitar 40 paal 10
sehari. Dilaporkan dalam Babad Tanah Jawi
(BTJ) bahwa ibukota Kerajaan Mataram telah mempunyai jaringan angkutan
darat ke Semarang lewat Ambarawa dengan melewati jembatan yang ada di
Jambu (BTJ, t.th.). Unuk perjalanan yang mempunyai jarak lebih dari 40
paal memerlukan penginapan di koplakan yang terletak di antara kota¬kota
kecil yang tersebar di Surakarta. Prambanan, Delanggu, Penggung,
Jatinom, Boyolali, Pungkruk, dan Banaran adalah tempat transit pedagang
yang akan melanjutkan perjalanannya ke arah barat, utara dan timur dari
Surakarta. Di pasar yang ada di Surakarta banyak dijual hasil kerajinan
maupun hewan piaraan yang ditukarkan dengan kapas dari Ponorogo, kelapa
dari Pacitan, pakaian dan alat rumah tangga buatan Surakarta, kain lurik
dari Jogjakarta, Bagelen, Rembang, dan Pekalongan.
Tempat
transit itu sebenarnya bukan hanya terdapat penginapan tetapi juga
warung dan hiburan lain yang diperlukan oleh mereka yang memerlukan
hiburan seperti penjualan candu, warung yang menjual ciu dan jenewer
buatan local seperti yang dijumpai di Delanggu. Berkaitan dengan
masuknya ekonomi uang ke pedesaan di Surakarta maka masyarakat pedesaan
di sekitar koplakan itu juga sebenarnya adalah pengguna fasilitas yang
disediakan di koplakan itu. Dengan kata laik koplakan itu sebenarnya
adalah embryo dari pusat pertumbuhan di simpul kegiatan ekonomi
perkebunan yang tersebar di seluruh wilayah Surakarta yang kelak
berkembang sebagai pusat kegiatan ekonomi dan kemudian menjadi pusat
kegiatan administrasi seperti desa, kecamatan, atau bahkan kawedanan.
Tempat
transit itu biasanya terletak dekat dengan perkebunan dan pusat
kegiatan ekonomi seperti pasar misalnya Gondang Jetis dekat setasiun
Srowot. Untuk menndukung angkutan barang di beberapa tempat tertentu
tersedia pelayanan perbaikan kereta dan gerobak antara lain di
Karangwuni, Wonggo, dan Pokohan.
Bagi perusahaan perkebunan
ketersediaan berbagai sarana dan prasaranan sangat penting. Prasaranan
perhubungan seperti jalan dan jembatan, sarana angkutan berupa grobag
dan cikar perlu disiapkan secara matang. Jalan dan jembatan perlu
disiapkan guna menunjang angkutan sarana produksi dari gudang ke kebun
atau membawa hasil panen ke gudang 11
atau los pengering, serta
mengangkut produk dari gudang ke setasiun kereta api atau ke pelabuhan
untuk diekspor. Sebelum jaringan kereta api yang menghubungkan antara
Semarang dan Vorstenlanden dibangun pada 1884 prasarana angkutan yang
digunakan di Surakarta adalah jalan darat dan jaringan sungai lewat
Bengawan Solo. Pada waktu itu industri pembuatan kapal atau perahu cukup
maju di Surakarta karena perahu digunakan bukan hanya untuk mengangkut
produk pertanian dari daerah sekitar kota ke pasar kota tetapi juga
digunakan untuk mengangkut produk yang dihasilkan daerah ini ke Surabaya
untuk diekspor. Namun dengan dibukanya jaringan kereta api Semarang –
Vorstenlanden itu berdampak bukan saja tidak berfungsi angkutan sungai
dari Surakarta ke Surabaya tetapi juga matinya industri pembuatan kapal
di Surakarta.
Jalan raya Jogjakarta – Surakarta menjadi ruas
utama yang menghubungkan kedua ibukota kerajaan Kejawen itu dengan
Jakarta di barat dan Surabaya di timur lewat jalur selatan. Di beberapa
tempat sepanjang ruas Jogja-Surakarta-Ngawi itu terdapat simpul¬simpul
yang lewat jalan darat berhubungan dengan perusahaan perkebunan di
wilayah Surakarta yang berada di utara dan selatan jalan raya tersebut.
Jalan kereta api yang menghubungkan Semarang dengan Surakarta, kemudia
dihubungankan dengan Jogjakarta ke barat dan Madiun di timur. Untuk
mendukung perkembangan di daerah selatan jaringan jalan kereta api
antara Solo – Kampak lewat Wonogiri sempat dipertimbangkan namun
realisasinya tersendat-sendat (KV, 1886).
Jalan raya yang
menghubungkan ibukota kasunanan Surakarta dengan kota dan pusat
pertumbuhan lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur maupun dengan kota-kecil
di wilayah Surakarta telah terjalin bersamaan dengan perkembangan
ekonomi pribumi baik di sector pertanian maupun industri pedesaan. Sejak
1830 misalnya Surakarta telah muncul sebagai salah satu penghasil beras
yang utama di Jawa dan sebagai pengekspor beras yang penting ke
beberapa daerah di sekitarnya seperti Jogjakarta, Ponorogo, Madiun,
Salatigo dan Semarang, dan keadaan ini berlangsung terus sampai akhir
abad ke-19. Jaringan itu semakin luas dengan dibangunnya rel kereta api
sehingga kota seperti Surabaya dan Kediri menjadi pasar bagi produk yang
dihasilkan Surakarta.12
Jaringan transportasi dan komunikasi
yang ada di Surakarta sejak dasawarsa pertama abad ke-19 telah berfungsi
secara optimal dan menempatkan Surakarta sebagai pusat kegiatan ekonomi
di Daerah Kejawen. Posisi Surakarta sebagai penyedia bahan pangan dan
berbagai kebutuhan bagi penduduk di kota-kota di Daerah Kejawen berubah
menjadi semakin penting dengan masuknya perusahaan perkebunan swasta dan
dibangunnya jaringan rel kereta api. Ekonomi perkebunan yang menjadi
tulang punggung ekonomi colonial memperoleh dukungan pemerintah
colonial. Berkaitan dengan hal; itu maka di Surakarta didirikan
perwakilan pemerintah colonial di Batavia dengan menempatkan Residen dan
kemudian dinaikkan statusnya menjadi Gubernur.
Untuk mendukung
kebijakan swastanisasi perkebunan ini maka di berbagai tempat dimana
perkebunan diusahakan didirikan berbagai fasilitas yang diperlukan
seperti gudang, pabrik dan los pengering serta sarana pendukung yang
lain seperti jaringan jalan, sarana irigasi, armada angkutan yang
terdiri dari lori dan armada angkutan grobag. Khusus untuk angkutan
grobag hanya disiapkan di desa penghasil gula. Namun karena hamper di
setiap wilayah kecamatan terdapat pabrik gula maka hampir di setiap desa
dapat ditemukan petani yang menjadi tukang grobag. Di setiap perkebunan
kecuali dibangun empalsemen atau pabrik untuk mengolah hasil perkebunan
juga dibangun fasilitas perumahan bagi administrator dan staf, serta
kantor. Di sekitar pabrik juga dibangun fasilitas untuk memenuhi
keperluan orang Eropa seperti gereja dan rumah sakit. Sementara itu
untuk keperluan masyarakat pasar musiman setiap hari gajian berkembang
pesat sehingga perlu dibuatkan pasar khusus. Tempat yang memiliki
berbagai fasilitas seperti itu berhasil menarik masyarakat di desa
sekitar untuk datang dan dan berusaha di berbagai kegiatan seperti
membuka usaha pengolahan hasil serta industri pedesaan lain maupun
membuka warung dan pelayanan seperti bengkel grobag dan jasa lainnya.
Apabila
keberadaan pabrik berhasil mendorong berkembangnya kegiatan ekonomi
desa serta menarik penduduk dari desa sekitar dating ke tempat tersebut
maka di kota Surakarta keberadaan petinggi pemerintah colonial baik
Residen apalagi Gubernur memberikan dampak yang luar biasa. Ditambah
lagi bahwa kota Surakarta yang menjadi tempat berkumpulnya para pimpinan
perusahaan perkebunan setiap akhir pekan membuat 13
kota
Surakarta harus berbenah. Untuk itumaka dibangunlah berbagai gedung
perkantoran yang merupakan symbol dari supremasi kekuasaan colonial di
Daerah Kejawen Maka dibangunlah Rumah Residen yang megah yang kemudian
disebut dengan Loji Gandrung. Fasilitas lain seperti benteng dan loji di
dalamnya, geraja serta kantor pos melengkapi simbolisasi pengaruh
kekuasaan colonial di Surakarta. Saat Pasar Kliwon dibangun oleh Sunan
maka pengusaha Belanda yang dimotori oleh Dezentje memanfaatkan lahan
yang ada di tepi jalan raya yang terletak di sebelah utara alun-alun
Kraton Surakarta antara Gladag sampai Purwosari untuk membangun gedung
guna keperluan petinggi penguasa colonial dan petinggi di Surakarta.
Demikian pula ketika Sunan membangun Taman Sriwedari Residen
memerintahkan membuat Gedung Perpustakaan Radya Pustaka.
Untuk
kepentingan pengamanan kompleks pabrik direkrut beberapa orang sebagai
tenaga pengamanan sementara itu untuk penjagaan keamanan tanaman
perkebunan tugas ronda malam dibebankan pada penduduk desa sekitar
kebun. Tidak jarang penduduk desa juga harus membuat pagar pengaman bagi
tanaman perkebunan berupa tanaman berduri di sekeliling kebun. Dalam
memanfaatkan irigasi kepentingan perusahaan perkebunan diutamakan
sementara itu kepentingan petani dinomorduakan. Sistem yang digunakan
disebut dag-en-nacht, di siang hari air digunakan untuk tanaman
perusahaan dan di malam hari untuk kepentingan petani.
Guna
memasarkan produk yang dihasilkan di kota maupun daerah sekitarnya di
Surakarta ada pasar besar yaitu Pasar Kliwon dan Pasar Legi. Di pasar
inilah barang berupa hasil industri dan kerajinan yang diproduksi di
kota seperti batik dan hasil manufaktur lain serta hasil pertanian dr
pedesaan di pasarkan. Transaksi jual beli untuk keperluan perdagangan
antarkota maupun kepentingan ekspor juga sudah dilakukan. Seperti
komoditas batik sudah dipasarkan ke berbagai daerah di Jawa demikian
juga hasil pertanian seperti beras. Perkembangan penting lainnya adalah
bahwa terdapat hirarkhi dalam menjalankan fungsi perdagangan yang
melibatkan perdagangan local maupun internasional. Daerah penghasil di
luar kota akan mengirim barang ke pos pengumpul yang kemudian pos ini
akan mengirim ke terminal angkutan ke pelabuhan pengirim ke daerah lain
atau ke pasar internasional di luar negeri. Demikianlah gula yang
dihasilkan 14
oleh berbagai pabrik gula yang ada di Karesidenan
Surakarta seperti di perkebunan gula di Gondang, Karanganom,
Manisrenggo, Ceper, dan Gondangwinangun akan mengirim dengan armada
grobag dari gudang ke setasiun kereta api di Sragen, Delanggu, Klaten,
Srowot, dan Prambanan. Dari setasiun kecil ini komoditas dikirim ke
setasiun Purwosari dan dari tempat ini komoditas itudikirim ke pelabuhan
Semarang dengan angkutan grobag dan kemudian dengan kereta api setelah
1884. Komoditas yang dihasilkan perusahaan perkebunan di Surakarta
kecuali gula adalah tembakau, kopi, serat agave, dan beras. Mengingat
komoditas tersebut tidak memiliki pola tanam dan panen yang seragam maka
kegiatan produksi, prosesing dan pemasaran berlangsung sepanjang tahun.
Dengan demikian betapa kegiatan di seluruh wilayah Kasunan dan
Mangkunegaran mampu menggerakkan hampir seluruh elemen masyarakat di
desa dan di kota yang ada.
Karena kegiatan ekonomi itu tidak
selalu dilakukan pada siang hari maka pada malam hari juga lazim
dijumpai kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Terlebih lagi kerja
bebas diterapkan secara serius oleh pemerintah colonial pada dasawarsa
awal abad ke-20 maka setiap kegiatan ekonomi berarti terbukanya sumber
penghasilan tambahan bagi penduduk pribumi. Keadaan ini membuat
kehidupan malam di Surakarta sangat dinamis sehingga kota Surakarta
sampai dengan dasawarsa 1870-an dikenal sebagai satu-satunya kota di
Bumi Kejawen yang tidak pernah tidur.
Selain kegiatan ekonomi
aktivitas pembangunan berbagai sarana dan prasarana seperti gedung,
jalan dan jembatan di kota dan berbagai wilayah Kasunanan membuat
penduduk memperoleh sumber penghasilan. Penduduk pedesaan di sekitar
kota bergerak ke kota untuk memanfaatkan terbukanya peluang ekonomi
tersebut di sector informal yang menjadi mulai penting pada awal abad
ke-20. Sebagai akibatnya adalah di kota muncul pemukiman kumuh di
sekitar proyek maupun di sekitar jalan kereta api. Tempat kumuh ini,
yang disebut dengan slum, adalah sumber bagi kegiatan criminal yang
berkembang sejalan dengan tumbuhnya kota sebagai pusat kegiatan ekonomi
yang semakin penting.15
4. Ekonomi Perkebunan dan Urbanisme
Perkembangan
ekonomi dan budaya Surakarta didukung oleh kota di sekitarnya. Sebagai
ibukota kerajaan Surakarta adalah pusat kegiatan politik, ekonomi dan
budaya. Tentulah penguasa yang lebih rendah di tingkat kabupaten yaitu
Klaten, Sragen, Karanganyar dan Boyolali akan meniru gaya hidup dengan
membuat duplikat budaya feudal agraris di wilayahnya. Begitu seterusnya
sampai ke jenjang yang lebih rendah di tingkat kawedanan, dan asisten
wedana. Budaya Eropa tak pelak juga mewarnai kehidupan di istana
Kasunanan. Tradisi dansa dan pesta pada setiap akhir pekan yang
diselenggarakan di kediaman Residen atau di rumah bilyar yang disebut
dengan kamar bola memperkuat berkembangnya corak kehidupan yang
hedonistis di kalangan rakyat kebanyakan di Surakarta (Wawancara dengan
Slamet, mantan boekhouder pabrik tembakau Bangak, Juli 1985). Tradisi
minum ciu dan arak, konsumsi candu dan berfoya-foya yang didukung oleh
bonanza ekonomi perkebunan mendorong berkembangnya industri ciu serta
munculnya pusat hiburan di kota kawedanan seperti Delanggu dan Sragen.
Sejalan
dengan pemenuhan kebutuhan perusahaan perkebunan maka reorganisasi
agrarian di Daerah Kerajaan dilaksanakan dengan control ketat dari
petinggi pemerintah colonial. Reorganisasi yang dilaksanakan pada 1912
di Surakarta dan 1916 di Jogjakarta memberikan hak anggadung kepada
masing-masing petani penggarap atau kuli. Dengan status sebagai
penggarap maka perkebunan mempunyai jaminan bukan hanya tanah tetapi
juga tenaga kerja yang diperlukan untuk mengusahakan tanaman
perdagangan. Sebaliknya bagi petani dengan memiliki hak individu atas
lahan pertanian dan pekarangan itu menjamin mereka untuk menerima uang
kontrak dari perusahaan perkebunan yang menyewa lahannya. Meskipun
demikian pada dasawarsa 1920an kecuali petani terserap dalam kegiatan di
kebun tetapi juga wanita dan anak-anak yang ada di desa perusahaan
tembakau terserap ke dalam pekerjaan di perkebunan. Ini berarti bahwa di
desa perkebunan tembakau seperti Gayamprit, Wedi-Birit, Kemudo,
Gantiwarno, Jiwo, Demangan, Ketandan, dan Pandan Simping secara ekonomis
mempunyai daya beli yang semakin kuat. Di samping itu industri pedesaan
yang terkait secara langsung atau tidak langsung dengan perkebunan
tembakau seperti pembuatan bahan atap los pengering atau welit serta
usaha angkutan grobag dan cikar juga berkembang pesat. Semakin banyak
kegiatan yang melibatkan penduduk desa yang terserap oleh perusahaan
perkebunan akan semakin besar uang yang beredar di masyarakat. Hal ini
akan menimbulkan dampak langsung atau backward linkage ataupun
damaktidak langsung atau forward linkages. Logika seperti inilah yang
sebenarnya merupakan factor yang mendorong berkembangnya kota kecil yng
berada di sekitar perusahaan perkebunan di Surakarta.
Kota
Surakarta sebagai pusat kegiatan ekonomi dengan penduduk yang semakin
banyak baik yang terdiri dari bangsa Eropa dan Timur Asing lain maupun
orang yg datang dari pedesaan untuk mengadu untung di sector informal
membuat kota semakin hidup. Kepemilikan angkutan berupa mobil mulai
meramaikan jalan di kota Surakarta. Demikian pula angkutan umum berupa
bis yang menghubungkan Surakarta dengan berbagai kota seperti Sragen dan
Madiun, Boyolali, Salatiga dan Semarang, Kartosuro, Klaten, dan
Jogjakarta, maupun Wonogiri. Jalan kereta api menghubungkan angkutan
dari Suraarta ke Surabaya ke arah timur, serta ke Semarang atau ke
Jogjakarta. Jaringan angkutan darat itu mempermudah dan mempercepat
angkutan manusia dan barang yang mendorong berkembangnya aktivitas
perekonomian di Surakarta dan kota kecil lainnya.
 |
| Stasiun Klaten Dibangun NIS 1903-1910 |
Berdirinya
berbagai fasilitas pelayanan politik, ekonomi, social dan budaya bagi
masyarakat Eropa maupun pribumi terutama untuk periode sampai 1930
menunjukkan perkembangan kota yang optimal dari di Surakarta maupun di
kota kecil lain di seluruh daerah ini. Di Kota Surakarta dibangun
berbagai fasilitas hiburan seperti Taman Sriwedari dan Taman hiburan
Tirtonadi, serta kebun binatang Sriwedari. Pusat kegiatan perdagangan
berupa pasar dan toko di buka di beberapapemukiman dan jalan besar. Pera
orang Eropa dan Cina, serta pribumi cukup penting dalam kegiatan ini
yang melibat produk local maupun import seperti kain cita dari India dan
Cina yg sdh masuk Hindia Belanda sejak pertengah abad ke-19.
Pelayanan
jasa yng semakin bervariasi di kota besar dan kota kecil di Karesidenan
Surakarta menunjukkan bahwa perkembangan kota semakin pesat serta gaya
hidup masyarakat yang semakin variatif. Fasilitas hidup dengan segala
plus minusnya ternyata membuka peluang bagi pelayanan kesehatan seperti
pemasangan gigi palsu sampai pengobatan sakit kelamin yang lazim
dijumpai dlam reklame surat kabar waktu itu (Sukarto, 2000). Demikian
pula tempat khusus untuk penjualan candu dan minuman keras serta
pelayanan hiburan bagi lelaki dijumpai hamper di setiap kota kawedanan.
Di kota kecil ini kecuali ada koplakan, pasar, warung remang-remang,
juga terdapat pelayanan social yg lain seperti kantor pemerintah,
sekolah, gereja atau masjid, rumah sakit, pegadaian serta kantor polisi
dan pos militer.
Masa Depresi 1930an adalah masa sulit bagi semua
orang terutama perusahaan swasta yang hamper semuanya gulung tikar
kecuali beberapa perkebunan tembakau karena tidak mampu menjual
produknya ke pasar internasional. Sementara itu di Surakarta dan kota
kecil lainnya dibanjiri buruh perkebunan yang dipulangkan dari Sumatra
Timur. Hilangnya sumber penghidupan di perkebunan di Surakarta dan
kembalinya sanak kerabat mereka dari Sumatra Timur menjadikan beban yang
ditanggung oleh daerah ini semakin berat. Sektor yang tertimpa beban
langsung adalah sector pertanian. Anehnya di tengah dasawarsa 1930an
yang sulit itu pedesaan di Surakarta justru menunjukkan kemampuan yg
elastis untuk beradaptasi. Dalam mencari jalan keluar bagi semakin
banyaknya penduduk yg harus diberi makan tanaman pangan yang diusahakan
bergeser dari sumber karbohidrat berkualitas tinggi ke sumber
karbohidrat berkualitas lebih rendah misalnya dari beras ke ketela pohon
atau ubi jalar. Demikian pula pemanfaatan lahan dilakukan semakin
intensif seperti diversifikasi tanaman serta multiple cropping yang
memungkinkan dilakukan panen beberapa kali dalam satu musim tanam
(Wawancara dengan Carik Kotesan, Kec. Prambanan, 2 Juni 1986).
Masa
Pendudukan Jepang, periode perjuangan kemerdekaan, serta awal periode
kemerdekaan Surakarta penuh dengan gejolak yang dimotori oleh satuan
pemuda dan kelompok militer. Peran istana Mangunegaran dan Kasunanan
maupun pedagang serta ulama membuat dinamika social politik semakin
kompleks. Kota Surakarta dan kota kecil lain menunggu hadirnya kembali
perkebunan sebagai akibat Konferensi Meja Bundar. Meskipun modal
perkebunan sempat kembali beroperasi di Surakarta tetapi dampak di
timbulkannya terhadapkota dan masyarakat Surakarta tidak sehebat yang
diharapkan oleh mereka.
5.Penutup
Berdasarkan pada uraian terdahulu beberapa dapat dikemukakan sebagai berikut:
Kota
di Surakarta yang berbasis pada ekonomi dan lingkungan agraris telah
berkembang sedemikian rupa sehingga mampu memberi manfaat bagi penduduk
di pedesaan sekitar kota-kota tersebut baik dalam sector formal maupun
sector informal.
Ekonomi perkebunan telah mampu membuka peluang
ekonomi bagi penduduk potensial di pedesaan untuk memanfaat daya beli
yang meningkat maupun perubahan ekologi budaya petani yang mampu
menangkap kesempatan yang ada.
Transformasi social di Surakarta
ditandai dengan munculnya sector informal di kota serta pedesaan di
daerah rurban (rural-urban).
Dampak langsung ekonomi perkebunan
seperti yang dialami oleh petani penggarap berupa meningkatnya daya beli
yang merangsang tumbuh dan berkembangnya industri pedesaan. Adapun
dampak tidak langsung adalah munculnya penyakapan lahan nganggur milik
penggarap oleh wong numpang yang pada perkembangannya diwarnai oleh
proses involusi seperti yang dirumuskan oleh Geertz.
5.
Perusahaan perkebunan dan penguasa colonial dengan segala fasilitas yang
diperlukan di Surakarta menjadi motor bagi dinamika yang berlangsung di
Surakarta dan dalam proses itu pula berbagai pihak dapat memperoleh
manfaat dalam mencari sumber penghidupan dalam berbagai kegiatan ekonomi
meskipun pada masa sulit seperti Depresi 1930an, masa penjajahan Jepang
sampai dengan masa perjuangan kemerdekaan dan awal kemerdekaan.
Daftar Pustaka
Elson, R.E., 1984. Javanese Peasants and the Colonial Sugar Industry. Singapore: Oxford UP.
Fernando,
R.M., 1982. “Peasant and Plantation Economy: The Social Impact of the
European Plantation Economy in Cirebon Residency from the Cultivation
System to the End of First Decade of the Twentieth Century”. Unpublished
thesis, Monash University.
Geertz, C., 1963. Agricultural
Involution The Proces of Ecological Change in Indonesia. Berkeley:
University of California Press.
Mashuri, 1995. Menyisir pantai Utara. Jakarta: Yayasan Pustaka Nusatama-KITLV.
O’Malley,
W.J., 1977. “Indonesia in the Great Depression: A Studt of East Sumatra
and Jogjakarta in 1930s” Unpublished Ph.D. thesis, Cornell University
Singgih
Tri Sulistiyono, 2003. The Java Sea Network: Patterns in the
Development of Interregional shipping and trade in the process of
national economic integration in Indonesia, 1870s-1970s. Proefschrift
Universiteit Leiden.
Soegijanto Padmo, 1999. Tobacco Plantations
and their impact on pesanat society and economy in Surakarta Residency:
1860-1960. Jogjakarta: Aditya Media.
Suhartono, 1991. Apanage dan Bekel Perubahan social di pedesaan Surakarta 1830- 1920. Jogjakarta: Tiara Wacana.
Supomo, 1927. De Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het Gewest Soerakarta. ‘s- Gravenhage: L.Gerretsen.
Suyatno
Kartodirdjo, 1982. “Revolution in Surakarta 1945-1950: A Case Study of
City and Village in the Indonesian Revolution” Unpublished Ph.D. thesis,
the Australian National University.
Soegijanto Padmo Dosen Sekolah Pasca Sarjana dan FIB UGM
Sumber
Makalah
disampaikan pada Diskusi Sejarah diselenggarakan oleh Balai Pelestarian
Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
Jogjakarta, 11-12 April 2007.