Tuesday, September 4, 2012

KAMPUNG LAWEYAN

Laweyan adalah onderdistrik (kemantren) di kota Surakarta di bagian paling Barat.Di situ terdapat makam Ki Ageng Ngenis yang menurunkan raja-raja Mataram.Rupanya kampung Laweyan selalu terletak di pinggiran kerajaan,baik masa Pajang maupun Kartasura dan Surakarta.Laweyan tercatat dalam tradisi lisan sebagai tempat pelaksanaan hukuman bagi mereka yang bersalah terhadap kerajaan dan tubuih mereka yang bersalah tersebut dilemparkan ke dalam sungai di Laweyan.Sebagai masyarakat yang  berada di pinggiran ternyata mempunyai arti penting bagi pertumbuhan masyarakat dan budayanya.Pada jaman Kartasura,ketika terjadi pemberontakan Cina orang-orang Laweyan tidak mau memberi bantuan kepada Paku Buana II.Ketika hendak melarikan diri ke Ponorogo,Sunan berhenti di Premulung.Sunan PB II meminta bantuan pada masyarakat Laweyan untuk meminjam kuda yang akan digunakan melanjutkan perjalanan ke Ponorogo,namun ditolak,karena masyarakat Laweyan tidak merasa menjadi bagian dari kerjaan Kartasura.

Rupanya Laweyan adalah masyarakat marginal dalam sistem sosial kerajaan- kerjaaan Jawa karena penduduknya menjadi pedagang.Sebagai pedagang mereka tidak terikat dengan hubungan patrimonial berdasar pemilikan dan penguasaan tanah,terlepas dari sistem agro managerial state yang memungkinkan memiliki subkultur sendiri.Pada awal abad 20 mereka sudah mempunyai kegiatan industri perbatikan untuk konsumsi masyarakat luas bahkan mampu menjadi kepanjangan tangan industri tekstil di Eropa.

Kekayaan sebagai pedagang memungkinkan banyaknya populasi haji,dan dalam tradisi lisan mereka menyebut banyak penyebar agama Islam adalah nenek moyangnya.,setidaknya ini menunjukkani identitas budaya Santri.Kenyataannnya bahwa kemudian kampung ini menjadi pusat kegiatan gerakan Sarekat Islam.

Kampung Laweyan membentuk komunitas sendiri dengan saudagar sebagai pusat hirarki.Dalam usaha perbatikan terdapat tertib sosial ekonomi dari pemilik usaha hingga kuli.Keluarga pemilik perusahaan menjadi puncak dari sistem status.,dimulai dari nenek sebagai Mbok Mase Sepuh,kemudian Kakek sebagai Mas Nganten Sepuh,Ibu sebagai Mbok Mase,Bapak sebagai Mas Nganten,anak permpuan sebagai Mas Rara,anak laki-laki sebagai Mas Bagus.Saudagar Laweyan adalah elit dari komunitasnya yang tidak mendapat tempat dalam sistem status resmi kerajaan.Keadaan in berbeda dengan Kampung Kauman yang memang menjadi bagian dari sistem status resmi kerajaan karena menjadi abdi dalem panatagama.

Demikian pentingnya Laweyan menjadi pusat dunia usaha,sehinggga pernah ada usulan dari seorang pembaca Surat Kabar Nieuw Vorstenlanden,21 Agustus 1903,untuk memjadikan Laweyan sebagai titik pusat dari sistem Trem di Surakarta.Memang ijin untuk membuat trem ke Laweyan sudah diberikan tetapi tidak pernah terlaksana.Itulah Laweyan sebagai 'Kampung Kawula' yang selalu dimarjinalkan oleh feodalisme kerajaan,namun mampu menjadi kaum pengusaha yang diperhitungkan.

Monday, September 3, 2012

MENELUSURI AKAR KETIMPANGAN DAN KESEMPATAN BARU: CATATAN TENTANG SEJARAH PERKEBUNAN INDONESIA

Oleh : Bambang Purwanto (purwanto349@yahoo.co.uk)

Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor perkebunan, karena sektor ini memiliki arti yang sangat penting dan menentukan dalam pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di Indonesia. Perkembangan perkebunan pada satu sisi dianggap sebagai jembatan yang menghubungkan masyarakat Indonesia dengan ekonomi dunia, memberi keuntungan finansial yang besar, serta membuka kesempatan ekonomi baru, namun pada sisi yang lain perkembangan perkebunan juga dianggap sebagai kendala bagi diversifikasi ekonomi masyarakat yang lebih luas, sumber penindasan, serta salah satu faktor penting yang menimbulkan kemiskinan struktural. Bahkan dalam konteks masa lalu ada yang berpendapat bahwa sejarah kolonialisme dan imperialisme Barat di Indonesia merupakan sejarah perkebunan itu sendiri. Sejak awal kedatangan bangsa Barat yang mengidentifikasi diri sebagai pedagang sampai masa-masa ketika Barat identik dengan kekuasaan kolonial dan pemilik modal, perkebunan menjadi salah satu fakta atau variabel yang tidak bisa diabaikan untuk merekonstruksi dan menjelaskan realitas masa lalu yang ada. Tulisan singkat ini akan membahas proses dan struktur perkembangan perkebunan dan komunitasnya sejak pertengahan abad ke-19 sampai paruh pertama abad ke-20, ketika sektor perkebunan mengalami pertumbuhan yang luar biasa dan menimbulkan pengaruh yang sangat besar baik bagi negara kolonial, para pemodal besar maupun masyarakat di Indonesia. Konstruksi ini diharapkan memberi bekal untuk memahami sejauhmanakah realitas kekinian perkebunan Indonesia merupakan lanjutan dari masa lalunya, atau telah terjadi perubahan yang mendasar sehingga tidak relevan mencari akar permasalahan perkebunan di Indonesia pada masa kini pada realitas historis perkebunan di masa kolonial.
Awal Perkembangan
Jauh sebelum perkebunan milik para pemodal swasta Barat berkembang pesat di abad ke-19, usaha perkebunan untuk ekspor sebenarnya telah memiliki sejarah yang panjang di Indonesia. Perubahan pola perdagangan pasar dunia pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 yang disertai dengan pelayaran orang Barat langsung ke pusat-pusat produksi dan perdagangan di Asia Tenggara menimbulkan peningkatan permintaan terhadap beberapa jenis komoditi yang dihasilkan kepulauan Indonesia. Beberapa komoditi seperti lada, pala, cengkeh, dan kayu manis yang sebelumnya hanya dikumpulkan dari tanaman liar mulai dibudidayakan penduduk di berbagai daerah di Indonesia. Para penguasa di kerajaan Aceh dan Banten misalnya, telah melakukan langkah yang sistematis melalui jalur birokrasinya dalam mengusahakan perkebunan lada pada akhir abad ke-16. Di Banten, pembukaan perkebunan itu tidak hanya terbatas di tanah-tanah yang tersedia di ujung barat pulau Jawa melainkan juga merambat ke daerah kekuasaannya di Lampung, sehingga terjadi mobilitas penduduk secara rutin menyeberangi Selat Sunda.
Satu hal yang perlu dicatat dari beberapa studi yang telah dilakukan, negara sejak awal telah menjadi penguasa utama yang memonopoli usaha perkebunan, baik sebagai pemilik maupun sebagai pedagang hasil perkebunan. Proses produksi dan pemasaran ditentukan oleh negara, keluarga kerajaan, dan para birokratnya melalui jaringan birokrasi dan institusi tradisional, sementara itu rakyat hanya berfungsi sebagai penyedia tenaga kerja dan tidak memiliki kekuatan tawar menawar untuk menentukan besar kecilnya nilai dan hasil produksi. Penguasa dan birokrasinya bahkan menentukan distribusi kebutuhan sehari-hari produsen, yang merupakan kompensasi atas keterlibatan mereka dalam proses produksi. Hal itu menunjukkan bahwa pasar bukan merupakan komponen ekonomi yang penting, baik untuk memasarkan produksi maupun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat karena birokrasi menentukan segala hal.
Di dalam usaha itu, para penguasa cenderung bekerja sama dengan orang asing daripada dengan interprenur lokal. Hal itu dilakukan untuk menangkal munculnya kelompok lokal yang mampu menyaingi kekuasaan raja karena keberhasilannya dalam bidang ekonomi. Salah satu contoh adalah kasus yang terjadi di Aceh pada akhir abad ke-16, ketika Sultan Ala’ad-din Ri’ayat Syah al-Mukammil memerintahkan pembunuhan dan perampasan harta benda para orang kaya, karena kelompok itu sangat berpengaruh dalam silih bergantinya lima orang sultan di kerajaan Aceh antara tahun 1571 dan 1589. Sejak saat itu produksi dan perdagangan lada secara eksklusif semakin didominasi oleh penguasa politik, terutama para uleebalang yang merupakan penguasa otonom atas wilayah tertentu. Sejak awal abad ke-16, perkebunan lada yang dikuasai kerajaan Aceh telah mencakup wilayah yang sekarang berada di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Bengkulu.
Kehadiran perusahaan dagang Barat, terutama Inggris dan Belanda pada abad XVII memperluas usaha perkebunan yang dilakukan oleh penduduk di beberapa wilayah di kepulauan Indonesia, baik sebagai bagian dari aktivitas ekonomi penguasa politik lokal maupun sebagai bagian dari politik penyerahan wajib yang berhasil ditanamkan oleh perusahaan dagang Barat, seperti yang terjadi di Ternate, Tidore, dan Ambon. Segera setelah Inggris menguasai Bengkulu, pesaing utama Belanda itu memulai usaha perkebunan, terutama lada di wilayah pantai Barat Sumatera. Sementara itu di Palembang, Jambi, dan Siak yang tidak berada di bawah kekuasaan baik Aceh, Banten maupun perusahaan dagang Barat juga berhasil mengembangkan perkebunan lada pada saat yang bersamaan.
Di Jawa, orang-orang Cina menyewa tanah-tanah desa untuk membuka perkebunan, terutama perkebunan tebu. Pada abad ke-17 perkebunan dan pabrik gula sederhana milik orang Cina sudah ditemukan di sekitar Batavia. Usaha perkebunan milik orang Cina ini juga dapat ditemukan di wilayah yang masih dikuasai oleh Mataram. Usaha perkebunan, terutama milik orang asing ini semakin berkembang ketika kekuasaan Barat atas kerajaan-kerajaan lokal semakin luas dan dalam. Di tanah-tanah partikelir, tanah yang dikuasai VOC yang dijual kepada pribadi-pribadi kaya di Jawa terutama sejak tahun 1778, perbukaan perkebunan-perkebunan baru yang ditanami berbagai jenis tanaman ekspor memperluas aktivitas usaha perkebunan di Jawa. Perkembangan usaha perkebunan mencapai salah satu puncaknya ketika VOC yang hampir bangkrut menerapkan kebijakan penanaman dan penyerahan wajib kopi di Priangan, yang dikenal sebagai Preanger Stelsel menjelang berakhirnya abad ke-18. Penanaman kopi di Priangan ini kemudian menjadi model dari tumbuhnya usaha perkebunan yang diselenggarakan oleh negara pada abad berikutnya, yang dikenal sebagai Kultuurstelsel atau biasa diterjemahkan sebagai Sistem Tanam Paksa dalam historiografi Indonesia.
Modal Swasta dan Berkembangnya Perkebunan Besar
Memasuki abad ke-19, sebuah perubahan besar mulai terjadi dalam usaha perkebunan di Indonesia. Berbeda dari kebijakan-kebijakan sebelumnya yang bersifat terbatas, pemerintah Hindia Belanda yang menggantikan posisi VOC berusaha memaksimalkan potensi lahan-lahan yang subur, lahan-lahan yang belum diolah, dan tenaga kerja penduduk lokal untuk menghasilkan berbagai jenis komoditi ekspor, terutama kopi, tembakau, nila, dan gula. Di Jawa, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan Kultuurstelsel dalam rangka memanfaatkan secara paksa tanah-tanah desa baik yang belum maupun yang telah diolah oleh masyarakat di daerah Gubernemen sejak tahun 1830. Penduduk diharuskan menyerahkan tanah dan tenaga kerja mereka dalam jumlah tertentu untuk menghasilkan berbagai komoditi ekspor seperti yang telah disebutkan di atas untuk kepentingan negara kolonial.
Kebijakan yang sama tidak hanya terbatas dilakukan di Jawa. Seiring dengan ekspansi militer dan perluasan kekuasaan politik kolonial, kebijakan pembukaan perkebunan baru secara paksa ini juga dilakukan di pulau-pulau lainnya, seperti tanam paksa kopi yang dilakukan di Sumatera Barat setelah berakhirnya Perang Paderi. Penduduk Sumatera Barat yang telah mengembangkan perkebunan kopi bebas sejak abad ke-18 dipaksa harus menyesuaikan proses produksinya dengan kebijakan tanam paksa yang dilakukan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1840-an. Sebelum itu usaha pembukaan perkebunan besar dengan tenaga kerja paksa telah gagal, sehingga pemerintah menyerahkan kembali proses produksi dalam bentuk perkebunan-perkebunan kopi yang dikelola oleh keluarga namun nilai produksi ditentukan oleh pemerintah. Pembukaan perkebunan-perkebunan kopi, lada, cengkeh, dan kelapa dengan cara yang hampir sama juga dilakukan di Palembang, Lampung, Bengkulu, dan Minahasa pada waktu yang hampir bersamaan.
Seperti telah dilakukan oleh kerajaan-kerajaan lokal sebelumnya, pemerintah Hindia Belanda memanfaatkan dengan baik jalur birokrasi. Di samping birokrasi colonial, pemerintah colonial juga memanfaatkan birokrasi tradisional untuk menjalakan usaha perkebunan yang dikuasai oleh negara itu. Sistem Tanam Paksa di Jawa yang berbasis pada desa telah melibatkan pada pejabat lokal dari tingkat bawah sampai bupati bersama-sama controleur sampai residen untuk melakukan kontrol terhadap seluruh aktivitas yang berlangsung. Di Sumatera Barat para tuanku laras, sebagian penghulu, dan kepala menjadi bagian penting dari keberhasilan program itu. Di samping para birokrat kolonial, para elite lokal itu menikmati keuntungan ganda berupa manipulasi terhadap produsen dan imbalan yang diterima dari penguasa kolonial. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika para elite lokal ini berhasil membangun relasi politis dan ekonomi yang erat dengan kekuasaan kolonial, yang pada titik tertentu menimbulkan konflik dalam hubungan mereka dengan rakyatnya sendiri. Sementara itu bagi para elite yang berusaha bersikap netral seperti yang ditunjukkan oleh banyak penghulu di Sumatera Barat, kondisi ini telah menimbulkan kesulitan bagi para penghulu yang berusaha melindungi rakyatnya dengan kuatnya tekanan kolonial serta adanya kenyataan bahwa para penghulu ini juga menikmati keuntungan ekonomis dari pelaksanaan sistem tanam paksa kopi itu. Pada saat bersamaan ketika berlaku Sistem Tanam Paksa di tanah-tanah Gubernemen Jawa, sebuah perkembangan perkebunan baru yang melibatkan para pemodal swasta Barat mulai terjadi di Vorstenlanden atau Tanah Kerajaan di Yogyakarta dan Surakarta. Berbeda dengan pemahaman selama ini bahwa perkembangan perkebunan besar milik pemodal swasta Barat baru berlangsung setelah berlakunya Undang Undang Agraria 1870, penelitian yang dilakukan Vincent Houben menunjukkan bahwa para pemodal swasta Barat telah menyewa tanah-tanah lungguh milik raja dan para pangeran untuk membuka perkebunan nila, tembakau, kopi, dan tebu. Sebagai contoh, dari 51.000 ton kopi yang dihasilkan Jawa pada tahun 1845, 4.413 atau 8,6% berasal dari Vorstenlanden, yang semuanya dihasilkan oleh kebun-kebun milik pemodal swasta Barat. Bahkan ada bukti yang menyebutkan bahwa perkembangan perkebunan besar milik pengusaha swasta di Jawa sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1816, jauh sebelum diberlakukannya undang-undang agraria. Biarpun ada larangan terhadap penyewaan tanah lungguh oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1823, sejak tahun 1827 penyewaan itu berlangsung kembali.
Bukti-bukti lain menunjukkan bahwa perkebunan-perkebunan besar milik swasta juga telah berkembang sejak Daendels dan Raffles menjual tanah-tanah di Bogor, Kerawang, dan Priangan, terutama kepada pengusah-pengusaha swasta Barat dan Cina. Penjualan perkebunan Cikandi Ilir dan Cikandi Udik antara tahun 1823 dan 1833 menjadi contoh lain dari keterlibatan pengusaha swasta asing dalam perkembangan perkebunan besar di Jawa sebelum tahun 1870. Bahkan pada saat Sistem Tanam Paksa berlangsung, paling tidak 36.398 bau tanah Gubernemen di Pekalongan, Surabaya, Pasuruan, dan Banyumas telah berubah menjadi perkebunan besar, masing-masing mengusahakan lebih dari 1.000 bau milik pengusaha swasta. Pada tahun 1826, NHM yang sangat berperan dalam penyelenggaraan Sistem Tanam Paksa telah mendorong berkembangnya perkebunan besar milik swasta melalui sistem kontrak konsinyasi dengan pemerintah. Perkembangan perkebunan milik pengusaha swasta di Jawa semakin berkembang ketika pemerintah mengizinkan pembangunan pabrik gula milik swasta di samping pabrik gula yang diusahakan oleh negara setelah tahun 1850. Namun satu hal yang perlu dicatat berkaitan dengan perkembangan perkebunan swasta itu, banyak dari perusahaan perkebunan itu dimiliki oleh keluarga para pejabat pemerintah Belanda dan Hindia Belanda. Hal itu dapat dilihat pada kasus perkebunan dan Pabrik Gula Purwodadi di Madiun yang dimiliki oleh Baron A. Sloet van Oldruitenborgh yang merupakan menantu dari P.J.B. Perez seorang anggota Konsil Hindia Belanda. Kepentingan keluarga dan pribadi ini sering menimbulkan konflik dengan para birokrat lokal yang berusaha membela kepentingan pemerintah. Para pengelola perkebunan di Tegal misalnya mengeluh karena para pejabat lokal telah menghalangi perkebunan dalam pengadaan tenaga kerja, sehingga ia dipindahkan ke tempat yang lain. Di Rembang seorang residen berani mencabut izin usaha beberapa perkebunan tembakau swasta yang dianggapnya telah melanggar tanpa akibat apapun, namun penggantinya melakukan hal yang sama terpaksa harus menghadapi pemecatan yang telah direkayasa dari atas. Perubahan kebijakan ekonomi pemerintah seiring dengan semakin kuatnya kepentingan ekonomi para pemilik modal Barat dan adanya perhatian yang lebih besar terhadap pulau-pulau lain setelah tahun 1870 merupakan salah satu tonggak penting dalam pertumbuhan yang semakin cepat usaha perkebunan di Indonesia. Perkebunan gula dan tembakau, terutama milik swasta berkembang sangat luar biasa di Pulau Jawa sampai tahun 1930-an. Menurut data yang dipublikasi dalam Kolonial Verslag, luas areal perkebunan gula yang diusahakan pemerintah menurun dari 28.167 hektar pada tahun 1870 menjadi 3.875 hektar pada tahun 1890.
Sementara itu lahan yang dikelola perkebunan gula swasta meningkat dari 332 hektar pada tahun 1875 menjadi 25.075 hektar pada tahun 1890. Jumlah perkebunan gula swasta juga meningkat dari 46 pada tahun 1875 menjadi 158, yang 24 diantaranya dimiliki oleh orang Cina pada tahun 1895. Kedudukan pemodal swasta dalam perkembangan usaha perkebunan di Indonesia pada masa kolonial menjadi semakin besar sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika beberapa komoditi baru seperti karet dan teh mulai dikembangkan dan pembukaan perkebunan besar di Sumatera dan Kalimantan. Pembukaan perkebunan tembakau milik swasta di Jawa Timur dan Sumatera Timur pada akhir abad ke-19 menandai sebuah era baru dalam usaha perkebunan, tidak hanya bagi daerah sekitarnya melainkan juga di seluruh wilayah kekuasaan Hindia Belanda selanjutnya. Pengerahan tenaga kerja dari luar daerah, khususnya tenaga kerja kontrak bagi orang Madura di Jawa Timur dan orang Jawa, Cina, dan India di Sumatera Timur pada satu sisi masih meneruskan beberapa ciri tradisi perkebunan yang lama, namun pada sisi yang lain telah menciptakan komunitas perkebunan baru yang unik dan berbeda dengan yang pernah ada sebelumnya.
Dua Lingkungan Perkebunan
Diilhami oleh tipologi yang dikemukakan oleh Clifford Geertz yang membedakan ekologi “sawah-tegalan” dan “dalam Jawa-luar Jawa”, lingkungan sosial-ekonomis dari perkebunan di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan proses perkembangan historisnya. Pembedaan ini tentu saja tidak terlalu kaku, karena beberapa ciri yang sama juga terdapat pada tempat yang berbeda. Lingkungan pertama sebagian besar terdapat di Jawa, wilayah yang penduduknya mengalami proses marginalisasi akibat sistem produksinya mengambil alih secara langsung modal produksi yaitu tanah milik desa atau pribadi dan tenaga kerja yang seharusnya digunakan oleh produsen untuk berproduksi bagi kepentingan ekonomi rumah tangga sehari-hari. Proses produksi nila, tembakau, dan tebu menggunakan tanah yang sama digunakan penduduk untuk menanam bahan makanan, khususnya padi. Sementara itu, biarpun sebagian lahan perkebunan kopi dan teh menggunakan lahan di dataran tinggi yang belum diolah, namun di banyak tempat kebun-kebun kopi dan teh milik perusahan besar swasta menggunakan tegalan penduduk dan membatasi upaya penduduk untuk membuka tegalan baru seiring dengan pertambahan penduduk dari waktu ke waktu.
Di dalam lingkungan yang pertama ini, keterlibatan langsung masyarakat lokal di dalam usaha perkebunan menjadi sangat intensif. Hampir sebagian besar tenaga kerja dipenuhi oleh penduduk setempat, kecuali di daerah tertentu yang jarang penduduknya atau dalam musim tertentu ketika tenaga kerja bebas dari luar juga banyak digunakan. Tenaga kerja tidak hanya terbatas pada laki-laki dan orang dewasa, dalam kenyataannya proses produksi juga melibatkan banyak tenaga kerja perempuan dan anak-anak. Tekanan terhadap ekonomi desa menjadi sangat besar, sehingga proses involusi seperti yang digambarkan Clifford Geertz terjadi di beberapa tempat. Bahkan kajian yang dilakukan oleh Peter Boomgard menyatrakan bahwa keterlibatan perempuan di luar sektor domestik terus meningkat seiring dengan perkembangan perkebunan.
Pada saat yang sama, penduduk juga mampu memanfaatkan keberadaan teknologi baru dan kesempatan ekonomi yang dimunculkan oleh perkembangan perkebunan. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Robert Elson di Pasuruan menunjukkan bahwa disamping adanya proses involusi dan pemerataan kemiskinan pada komunitas tertentu, penduduk di beberapa wilayah bahkan mampu memanfaatkan secara maksimal irigasi yang dibangun bagi perkebunan tebu untuk meningkatkan produksi padi mereka, sehingga daerah seperti Lumajang menjadi salah satu penghasil padi utama di Jawa Timur. Di tempat lain, penduduk merespon secara positif kesempatan ekonomi baru yang berkaitan dengan perkembangan perkebunan, seperti membuka pasar dan membuat berbagai barang sebagai industri rumah tangga, baik barang yang dibutuhkan oleh perkebunan maupun oleh para pekerjanya. Sebelum lori dan kereta api menjadi alat transportasi utama, penduduk di sekitar perkebunan juga memanfaatkan ternak mereka untuk memenuhi jasa angkutan yang diperlukan oleh perkebunan.
Lingkungan kedua lebih banyak terdapat di perkebunan-perkebunan di Sumatera dan Kalimantan. Di tempat ini terdapat pemisahan yang tegas antara perkebunan sebagai pusat produksi komoditi untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia dengan lahan penduduk untuk menanam kebutuhan pangannya. Biarpun secara agronomis lahan yang digunakan untuk membuka ladang atau huma penduduk sama dengan lahan yang dimanfaatkan untuk perkebunan, sampai beberapa dekade awal abad ke-20 belum terjadi persaingan antara kebutuhan lahan perkebunan dengan kebutuhan penduduk menanam padi. Berbeda dengan lingkungan yang pertama, sebagian besar perkebunan di lingkungan kedua dikembangkan di daerah baru yang belum menjadi bagian dari sistem produksi masyarakat. Baru pada masa kemudian ketika terjadi pertumbuhan penduduk yang sangat besar, persoalan lahan ini muncul. Kebun-kebun tembakau, kopi, dan kemudian karet serta kelapa sawit sebagian besar dibuka pada hutan-hutan tropis yang belum dihuni oleh penduduk. Sebagian besar tanah itu merupakan tanah adat, yang diubah statusnya oleh pemerintah kolonial melalui berbagai peraturan menjadi tanah milik penguasa lokal atau tanah tidak terpakai sebelum dilimpahkan kepada perusahaan perkebunan yang mendapat hak konsesi.
Kondisi ini menempatkan posisi politis para elite lokal menjadi seolah-olah lebih penting, dan di beberapa daerah para elite itu bahkan mengalami peningkatan status dari sekedar “kepala mukim”, “kepala kampung”, atau kepala wilayah menjadi raja atau sultan, yang menurut konsep state domain berkuasa atas tanah yang ada. Keadaan itu juga menimbulkan distorsi dalam konteks politik, ketika satuan unit kekuasaan dari para kepala mukim, kepala kampung, atau kepada wilayah yang mengalami mobilitas sosial semu itu tiba-tiba dipahami sebagai kerajaan dalam pengertian negara. Padahal secara teoretik konseptual, kedudukan para elite itu paling tinggi hanya dapat disetarakan dengan bupati. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tradisi historiografi Indonesia sampai saat ini tidak bisa membedakan dengan jelas antara konsep chiefdom dengan kingdom dalam membahas para elite itu.
Berbeda dengan kenyataan para elite di Jawa yang memiliki kemampuan mengerahkan tenaga kerja melalui jaringan tradisionalnya untuk memenuhi kepentingan perkebunan, para elite di lingkungan kedua itu ternyata tidak memiliki kekuasaan untuk mengerahkan tenaga kerja penduduk yang ada di bawah kekuasaannya. Hal itu tentu saja memperkuat pendapat bahwa sesungguhnya para elite itu tidak lebih dari elite semu, yang menempati posisi tersebut karena kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang ingin melegalisir pemindahan hak atas tanah adat kepada perusahaan perkebunan melalui prinsip state domain. Kebutuhan tenaga kerja dipenuhi oleh tenaga kerja dari luar, sementara jarang sekali penduduk penduduk di sekitarnya yang bekerja sebagai buruh. Pengerahan tenaga kerja luar ini dapat dijelaskan karena rendahnya tingkat populasi di sekitar lokasi perkebunan baru itu dan penduduk setempat sudah memiliki kesempatan ekonomi alternatif.
Di Sumatera Timur misalnya, kebutuhan tenaga kerja dipenuhi oleh tenaga kerja kontrak yang berasal dari Cina, yang pada awal abad ke-20 mencapai 2/3 dari seluruh pekerja yang ada. Pada akhir dekade pertama abad ke-20, jumlah pekerja kontrak yang berasal dari Jawa terus meningkat sehingga jumlah pekerja Cina di Sumatera Timur menurun lebih dari separuh. Peningkatan jumlah kuli kontrak dari Jawa itu juga mulai merubah komposisi buruh yang bekerja di perkebunan menurut jenis kelamin dan komposisi umur, yang menunjukkan semakin banyaknya pekerja wanita dan kemudian anak-anak. Selain melalui sistem kontrak, kebutuhan tenaga kerja untuk perkebunan di beberapa tempat seperti Jambi, Palembang, Bengkulu, dan Lampung dipenuhi melalui program kolonisasi. Berbeda dengan prinsip dasarnya yang direncanakan untuk pengembangan pertanian pangan, sebagian besar dari orang yang dipindahkan dari daerah miskin dan bencana di Jawa itu ternyata lebih banyak yang dipekerjakan pada perkebunan-perkebunan, di samping untuk proyek-proyek pembangunan lainnya yang dilakukan pemerintah.
Kebutuhan tenaga kerja dari luar yang besar itu kemudian menarik para pendatang dari berbagai wilayah ke sekitar perkebunan, baik sebagai pekerja maupun bukan. Hal ini berbeda dengan lingkungan pertama yang sudah dihuni oleh penduduk ketika perkebunan dibuka, kehadiran pendatang sangat terbatas. Jika pun ada, kedatangan pendatang itu hanya bersifat musiman, dan hanya sedikit yang memutuskan untuk menetap. Namun di lingkungan tipe kedua, daerah sekitar perkebunan dipenuhi oleh para pendatang yang menetap. Seperti yang terjadi di banyak tempat di Sumatera Timur dan Lampung, penduduk pendatang yang berasal dari luar lingkungan adat setempat menjadi lebih dominan. Pada awalnya mereka membuka lahan-lahan yang ada di luar tanah konsesi perkebunan baik untuk pemukiman maupun lahan produksi. Dalam perkembangan waktu, para pendatang ini mulai mengolah lahan-lahan yang telah ditetapkan sebagai tanah konsesi perkebunan, termasuk di lahan-lahan produksi. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang menimbulkan persoalan yang kompleks dalam masalah pertanahan antara perkebunan dengan masyarakat.
Di dalam konteks yang lain, dua lingkungan perkebunan ini dapat dilihat dari kualitas ekonomi komunitas perkebunan. Eksploitasi, diskriminasi, kemiskinan, dan penderitaan merupakan cerita utama yang ada di sekeliling masyarakat perkebunan di Indonesia pada masa kolonial sampai saat ini. M. Said, Jan Breman, dan A.L. Stoler misalnya menggambarkan begitu rupa tentang kehidupan masyarakat perkebunan, khususnya di Sumatera Timur yang harus menanggung beban yang sangat luar biasa. Kondisi yang sama juga masih dihadapi oleh para buruh di perkebunan-perkebunan tembakau di Besuki sampai saat ini. Para pekerja perempuan dan anak-anak khususnya harus menghadapi diskriminasi sosial, ekonomi dan bahkan kekerasan seksual secara terus menerus diwarisi dari satu generasi ke generasi-generasi berikutnya.
Sebuah kajian yang paling akhir tentang perkebunan pada masa kolonial menunjukkan telah terjadi peningkatan kualitas non fisik seperti kesehatan dan perlakukan kasar para mandor dan tuan kebun yang semakin berkurang, namun pendapatan riil para pekerja di Sumatera Timur tidak mengalami perubahan yang berarti sejak awal pembukaan perkebunan sampai tahun 1920. Sampai tahun 1910 sebagai contoh, setiap pekerja laki-laki Jawa menerima 30 sen per hari, dan jumlah ini meningkat 60% pada tahun 1920. Kenaikan ini tidak ada artinya jika dibandingkan dengan kenaikan biaya hidup, khususnya kenaikan harga beras yang juga mencapai 60%. Selain itu biarpun angka kematian pekerja turun pada tahun 1910-an dibandingkan dengan kondisi di tahun-tahun awal pembukaan, dalam kenyataannya fluktuasi angka kematian ini tetap menunjukkan kecenderungan yang tinggi mencapai 20 per 2.000 orang, seperti yang terjadi sepanjang dekade kedua abad ke-20. Gambaran yang serupa juga terdapat di berbagai perkebunan besar lain milik pemodal swasta di Palembang, Kalimantan Selatan, Jambi, Lampung, dan Bengkulu.
Gambaran yang agak berbeda tentang perkebunan akan didapat jika komunitas perkebunan dilihat sebagai sebuah totalitas. Perkebunan tidak hanya berisi para pekerja yang menderita melainkan juga pekerja yang menikmati keuntungan finansial yang sangat besar dari hasil perkebunan itu. Ketika banyak pekerja yang diberhentikan, perusahaan merugi, dan para pemegang saham tidak menerima deviden pada masa depresi ekonomi tahun 1930-an, sebagian pekerja perkebunan yang berada pada tingkat tertentu masih menikmati tantiem dalam jumlah yang sangat besar dibandingkan dengan rata-rata penghasilan penduduk dan pegawai pemerintah atau swasta umumnya. Ironisnya, warisan kolonial ini ternyata tidak hilang ketika Indonesia mencapai kemerdekaan, dan perkebunan tidak lagi dikelola oleh orang asing.
Pada masa pascasaproklamasi kemerdekaan, berbagai fasilitas dan sistem yang menguntungkan para elite perkebunan terus dipertahankan. Dalam konteks ini, kemerdekaan dan berakhirnya kolonialisme dapat dikatakan tidak mempengaruhi keberlanjutan eksploitasi dan ketimpangan yang telah menjadi ciri komunitas perkebunan pada masa-masa sebelumnya. Bagi sebagian besar komunitas perkebunan, kemerdekaan hanya sebuah jargon politik yang tidak pernah menjadi bagian dari realitas kehidupan mereka sehari-hari. Seperti pada masa-masa sebelumnya, akses mereka terhadap tanah juga terbatas, kalau tidak mau disebut tertutup. Oleh karena itu tidak mengherankan jika konflik pertanahan tetap merupakan sesuatu yang laten dalam komunitas perkebunan pascaproklamasi kemerdekaan, dan bahkan dalam beberapa hal menjadi lebih buruk. Sistem jaluran yang dipraktekkan di perkebunan Sumatera Timur pada masa kolonial yang memungkinkan adanya akses terbatas terhadap tanah bagi para buruh sebagai contoh, ternyata tidak berlanjut dengan reformasi agraria yang memberi pengakuan hak atas tanah kepada para penggarapnya ketika Indonesia menjadi sebuah negara merdeka. Bahkan beberapa bukti menunjukkan akses para buruh terhadap tanah menjadi semakin terbatas, dan bahkan hilang sama sekali ketika terjadi Indonesianisasi terhadap perkebunan. Di tempat lain, lahan masyarakat yang telah mengambil alih pengelolaan lahan perkebunan pada masa Jepang dan awal kemerdekaan, terpaksa harus kecewa atau berada pada ketidakpastian secara terus menerus ketika harus berhadapan dengan pengelola baru yang dianggap resmi oleh pemerintah setelah kebijakan nasionalisasi atau Indonesianisasi tahun 1950-an.
Hal itu menunjukkan dua lingkungan di atas tidak hanya telah membentuk sebuah struktur melainkan juga sebuah kultur komunitas perkebunan pada masa yang secara politik berbeda itu. Hampir sama dengan cerita tentang masyarakat miskin perkotaan di Amerika Latin yang telah terjerat oleh culture of poverty seperti yang dikemukakan oleh Oscar Lewis, secara historis komunitas perkebunan di Indonesia juga telah menciptakan struktur sekaligus kultur perkebunan yang sangat sulit untuk diubah. Baik para pekerja kuli maupun pekerja mandor dan pekerja menejer telah terjerat dalam sebuah lingkaran setan atau tejebak di dalam kotak Pandora, yang mereka sendiri tidak tahu atau pura-pura tidak tahu pangkal dan ujung serta cara mencari jalan keluarnya. Jikalau terjadi perubahan, maka perubahan itu tidak terjadi secara struktural melainkan hanya parsial dan tidak berkelanjutan. Mereka yang tertindas saat ini harus menghadapi kenyataan historis bahwa nenek buyut mereka dulu juga tertindas biarpun para penindas saat kemudian ternyata bukan keturunan para penindas dahulu.
Perkebunan sebagai sebuah komunitas tetap hidup dalam realitas yang sama ketika komunitas lain telah berhasil memutuskan identitas mereka dari masa lalu yang tidak menyenangkan itu. Persoalannya tidak lagi dapat dijelaskan dalam konteks ekploitasi kapitalis terhadap proletar melainkan produk dari upaya untuk membangun hegemoni kultural dan memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomis yang tidak mengenal batas kelas, aliran atau konsep-konsep lain yang setara. Interelasi yang melibatkan banyak variabel telah menghasilkan orang tertindas dan penindas yang hampir-hampir permanen tanpa memerlukan terus hadirnya colonized dan colonizer.
Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana cara memutuskan diri dari belenggu masa lalu itu? Tentu saja tidak ada resep instan yang dapat digunakan. Salah satu cara adalah memahami secara benar perkembangan historis masyarakat perkebunan dari masa lalu hingga saat ini sebagai sebuah keberlanjutan struktural maupun kultural. Jika pemahaman itu tidak dilakukan, akan sangat sulit bagi komunitas perkebunan untuk keluar dari warisan sejarah yang hanya menyenangkan segelintir anggotanya saja dan menyengsarakan sebagian besar yang lain.
Penutup
Sebelum tulisan ini diakhiri, satu hal yang perlu diperhatikan bahwa pembicaraan tentang perkebunan jarang sekali memperhatikan masalah perkebunan atau lebih tepat kebun rakyat. Berdasarkan penelitian terhadap sejarah ekonomi perkebunan rakyat di Jawa maupun di pulau-pulau lainnya pada masa kolonial, terdapat sebuah alur perkembangan yang berbeda dibandingkan dengan sejarah perkebunan besar. Jika selama ini dikatakan bahwa para pekebun kecil itu tidak rasional dalam mengusahakan perkebunannya dan perkebunan kecil juga tidak mampu bersaing dengan perkebunan besar, sejarah perkebunan karet rakyat di Kalimantan, Palembang, Jambi, Sumatera Timur, dan Kalimantan Selatan misalnya memberi gambaran yang bertolak belakang. Para pekebun kecil itu ternyata mampu menimbulkan frustrasi berkepanjangan pada para pemilik perkebunan besar.
Dalam banyak kenyataan memang kebun yang memiliki struktur dan sistem yang berbeda itu tidak mampu mendukung perubahan ekonomi secara structural. Namun satu hal yang sering dilupakan bahwa hal itu bukan karena kebun tidak kompetitif secara ekonomis, dan komunitas kebun tidak mampu menghasilkan keputusan-keputusan ekonomi yang rasional. Dari berbagai kajian yang telah dilakukan terbukti bahwa kebun merupakan korban dari perkebunan ketika para pemilik modal, penguasa dan kelompok-kelompok kepentingan luar lainnya ikut campur dalam proses produksi dan pasar. Kebun secara sistematis mengalami marginalisasi untuk membuka kesempatan kepada para pemilik modal besar atau untuk membangun citra politik penguasa. Padahal seperti juga pekarangan, kebun memiliki potensi ekonomi yang sangat besar bagi masyarakat. Sayangnya, historiografi Indonesia tidak memberi tempat yang layak kepada historisitas kebun dan pekarangan berserta komunitasnya yang sebenarnya mampu menghadirkan rakyat sebagai “pahlawan”, namun sebaliknya memberikan ruang yang sangat besar kepada perkebunan yang hanya menggambarkan rakyat sebagai korban dan “pecundang” dan secara langsung sekali lagi melegitimasi peran penting orang asing dalam sejarah Indonesia di masa kolonial seperti yang menjadi ciri utama kolonialsentrisme. [db]
Dafar Pustaka
Bambang Purwanto, “The Economy of Indonesian Smallholder Rubber, 1890s-1940”, J.Th. Lindblad, ed., Historical Foundation of a National Economy in Indonesia, 1890s-1990. (Amsterdam: KNAW, 1996).
Booth, Anne, Agricultural Development in Indonesia. Sydney: Allen & Unwin, 1988.
Booth, Anne et al., ed., Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1988.
Breman, Jan, Taming the Coolie Beast. New Delhi: Oxford University Press, 1989.
Elson, R.E., Javanese Peasant and the Colonial Sugar Industry. Impact and Change in an Easr Java Residency, 1830-1940. Singapore: Oxford University Press, 1984.
Houben, Vincent J.H., “Private Estates in Java in the Nineteenth Century. A Reaprisal”, J.Th. Lindblad, ed., New Challenges in the Modern Economic History of Indonesia. Leiden: Programme of Indonesian Studies, 1993.
Houben, V.J.H., Thomas Lindblad, et al., Coolie Labour in Colonial Indonesia. A Study of Labour Relations in the Outer Islands, c. 1900-1940. Wiesbaden: Harrassowitz Verlag, 1999.
Mubyarto et al., Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan. Yogyakarta: Aditya Media, 1992.
Pelzer, Karl J., Toean Keboen dan Petani. Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatra Timur 1863-1947. Jakarta: Sinar Harapan, 1985.
—, Sengketa Agraria Pengusaha Perkebunan Melawan Petani. Jakarta: Sinar Harapan, 1991.
Sartono Kartodirdjo & Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media, 1991.
Soegijanto Padmo, Tobacco Plantations and Their Impact on Peasant Society and Economy in Surakarta Residency:1860-1980s. Yogyakarta: Aditya Media, 1999.
Van der Eng, Pierre, Agricultural Growth in Indonesia Since 1880. Groningen: Universiteitsdrukkerij Rijkuniversitiet Groningen, 1993.

Friday, August 31, 2012

The Best Indonesia's Keyboardist

Jocky Suryoprayogo (God Bless)

Bagi para pemain rock, nama besar musisi ini jelas tak asing lagi. Dia-lah keyboardis rock terhebat dalam sejarah musik Indonesia. Selain keyboardis di grup band raksasa, God Bless, sosok Jocky juga penulis lagu dan arranger hits-hits God Bless. Lagu-lagu dan permainan keyboard-nya, masih kerap dijadikan refrensi para musisi masa kini, hingga di ajang festival. Nada-nada pilihannya selalu terdengar mendominasi, komersil, dan perkasa. Lagu berjudul Musisi milik God Bless, menjadi semacam masterpiece bagi permainannya yang dikenal hingga level dunia. Lagu tersebut juga masih sering dijadikan lagu wajib dalam ajang-ajang festival band di tanah air.

Indra Lesmana


Dia lah putra sang musis besar Jazz, Jack Lesmana, yang mampu meneruskan nama besar sang Ayah. Membuktikan bahwa darah seni dan jazz mengalir kental dalam dirinya. Pernah bersolo karir, tergabung dalam group musik penuh dengan musisi ternama (Adegan), dan mampu eksis hingga saat ini Tak ada yang berani mengatakan kesuksesannya karena di bawah bayang-bayang nama besar sang Ayah. Dan tak akan ada pula yang menyangkal kalau namanya layak dijadikan contoh bagi para keyboardis.
Indra Lesmana adalah seorang legenda.

Thursday, August 30, 2012

Sejarah Tingkat Tutur Dalam Bahasa Jawa

Pendahuluan
 
Seperti pada masyarakat lain,masyarakat Jawa mengenal tingkat tutur dalam bahasanya.ingkat tutur  dalam bahasa Jawa disebut Undha Usuk.Tingkat tutur merupakan hasil dari kehidupan sosial,yaitu struktur masyarakat merupakan faktor pembentuk struktur bahasa.Orang dapat membedakan golongan rakyat bawah dengan golongan atas berdasarkan ciri-ciri kebahasaan atau tingkat tutur yang dipakai dua golongan tersebut.

Munculnya Tingkat Tutur Dalam Bahasa Jawa.

Penelitian ilmia tentang perkembangan tingkat tutur dalam masa prasejarah bahawa Jawa belum pernah dilakukan,karena tidak ditemukan peninggalan tertulis yang bisa dikaji.Wahyati Pradipto dkk.dari Universitas Indonesia dalam penelitiannya tentang Unggah-Ungguh dalam Bahas JAwa Kuno (1978),menyimpulkan bentuk tingkat tutur dalam bahasa Jawa secara embrional masih belum jelas,kecuali dalam karya Sastra Jawa kuno. Tetapi Moedjanto (1987) menolak anggapan bahwa tataran Ngoko-Krama telah ada sejak jaman Jawa Kuno.Meskipun dalam bahasa Jawa Kuno dikenal juga kata-kata penghormatan yang dipakai untuk menghargai status sosial orang yang lebih tinggi.Kosa kata Krama masa itu masih sangat terbatas pemakaiannya dan belum sepesat masa Jawa pertengahan.Dalam penelitiannya, Moedjanto(1987) membeuktikan,bahwa bahasa Jawa dalam sastra Jawa jaman Islam abad XV-XVI juga tidak jelas memeperlihatkan tataran bahasa yang dipakai dalam komunikasi.ang nampak hanyalah embrio-embrio ke arah Krama-Ngoko.
Orang berpakaian dan bersikap gaya Jawa

Jaman Demak dan Pajang,tingkat tutur Krama-Ngoko nungkin sudah mulai muncul,tetapi hampir tidak ditemukan hasil sastra pada jaman itu sehingga sangat sulit mengidentifikasi tataran bahasa yang dipakai (Moedjanto,1987.hal.60).Menurut G.P.Rouffaer (dalam Moedjanto,1987) unggah-ungguh bahasa mulai digunakan pada abad XVII dan memperoleh bentuk yang tetap hingga saat ini sejak jaman Kartasura.

Politik Tataran Bahasa

Munculnya tataran bahasa sangat berkaitan dengan politik yang dijalankan oleh penguasa Mataram untuk memperkuat kedudukan dengan cara membuat suatu jarak sosial yang ketat antara Kawula dan Gusti (bahkan secara kasat mata pembuatan jarak sosial secara fisik diwujudkan dengan dibangunnya tembok benteng Kraton).Sebagai dinasti yang baru berhasil merebut kekuasaan di JAwa,Mataram perlu memperkuat kedudukannya. Salah satu alat untuk mengukuhkan status sosial yang baru dan memperkuat kedudukannya,terutama sejak Sultan Agung berkuasa ada;lah dengan memciptakan jarak sosial dalam berbahasa.,yaitu dengan mengembangkan tataran Krama-Ngoko.Dengan jarak sosial tersebut memperlihatakan bahwa dinasti Mataram bukan keluarga sembarangan,melainkan sebuah keluarga(dinasty) yang menunjukkan keunggulan (superiority),kejayaan(glory),dan kebesaran (greatest).Upaya pengkultusan kekuasaan tersebut dilakukan karena dinasti Mataram menyadari bahwa sebenarnya mereka berasal dari kalangan petani.Seperti diketahui pada awalnya merupakan sebuah hutan yang diberikan oleh Sultan adiwijaya (Sultan Pajang) kepada Ki Gedhe Pemanahan hingga akhirnya menjadi sebuah Kadipaten dan kemudian menjadi negara agraris yang subur.Oleh Sultan Agung unggah ungguh basa berkembang bersamaan dengan sastra babad.Sastra babad pada saat itu dikembangkan untuk tujuan politik,yaitu melegitimasi kedudukan raja yang memerintah.Sehingga unggah ungguh basa yang digunakan dalam sastra babad juga bertujuan politis yaitu membuat jarak sosial antara penguasa Mataram dan rakyatnya.

Peng-krama- yang dilakukan dinasti Mataram ternyata mendapat perlawanan hebat dari kawasan Islam Pesisir yang sama sekali tidak mengenal bahasa tata cara itu (Anderson,1996).Setelah penaklukan Giri,Gresik dan Surabaya wilayah pesisir Utara itu jatuh ke tangan Mataram dan tentu saja dilakukan pemaksaan pemakaianKrama dapat berjalan lancar.,Tetapi tidak sesempurna seperti pemakaian di pusat kerajaan Mataram sehingga masih terkesan kasar.Demikian pula ketika Cirebon,Jepara dan Semarang jatuh ke tangan VOC sebagai akibat untuk pelunasan hutang-hutang Amangkurat II, aura atau sinar bahasa Krama semakin redup di wilayah-wilayah tersebut.Sehingga Krama bahasa Krama alus hanya bertahan di Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta saja. Khusus dalam kalangan istana muncul ragam Basa Bagongan atau Basa Kedhaton yang bersifat inklusif.Namun sejak tahun 1900an bahas tersebut sudah jarang digunakan di dalam kraton.

Ragam Krama yang bersifat feodalistis itu semakin membelit dan membealut kehidupan masyarakat Jawa sehari-hari dan merupakan sebuah bahasa lisan dan pergaulan.Jadi,basa Krama berkembang dari sebuag bahasa sastrra menjadi bahasa lisan.Perkembangan tersebut juga didukung oleh faktor  lain yaituu kekuasaan kolinial Belanda ketika memfosilkan penguasa Jawa dan memfeodalkan hubungan mereka dengan masyarakat yang lain.Dengan demikian,feodalisme semu masyarakat Jawa berpengaruh dalam bahasa Jawa.

Sumber Bacaan

Benedict Anderson (1996),Bahasa dan Kekuasaan,Mizan,Bandung

G.Moedjanto (1987),Konsep Kekuasaan Jawa,Universitas Gadjah Mada Press,Yogyakarta

Darsiti Suratman (2000),Kehdupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939,Yayasan Untuk Indonesia,Jakarta

Sunday, August 26, 2012

EKONOMI RAKYAT DAN KORPORAT INTERNASIONAL DILEMA PETANI TEMBAKAU


                                               Oleh:SUHARTONO W. PRANOTO
                                                  ( Fakultas Ilmu Budaya UGM )


Proses pemilihan Tembakau
Iklan-iklan di media cetak dan elektronik mengingatkan kita pada bahaya merokok. Iklan-iklan itu seperti terpolitisasikan karena kuantitas dan kualitasnya yang menjelajahi tanah air. Ini semua tentu saja meerupakan peringatan besar atas bahaya rokok. Merokok menyebabkan kanker, hipertensi, stroke, gangguan kehamilan, dll. Rokok dibuat dari daun tembakau dan dari daun itu juga menghasil;kan cerutu yang berkualitas tinggi yang diekspor dan mendunia. 

Tanaman tembakau kemudian menjadi tanaman komersial yang dengan demikian harganya pun jauh lebih tinggi dari pada tanaman tradisional. Terkait dengan dua jenis tanaman itu jelas menyangkut kehidupan dan kesejahteraan petani. Memang di satu sisi perkebunan tembakau yang dikelola perusahaan perkebunan Barat (onderneming) langsung mengangkat kehidupan pengusahanya dan perkebunan tembakau, rakyat juga ikut terdongkrak. Meski tembakau rakyat hanya dikonsumsi di dalam negeri tetapi tembakau ini dijadikan bahan dasar rokok lokal. Tembakau local sudah lama digunakan sebagai kombinasi dalam makan sirih (Jawa: nginang). Kombinasi tembakau, sirih, dan kapur (Jawa: injet) mampu menguatkan gigi, tentunya juga ada kandungan nikotin. Sirih, meski masyarakat secara tradisional kurang begitu faham kegunaannya, tetapi selalu saja bahan itu digunakan karena kandungan antibiotik. Seperti diketahui kebiasaan merokok sudah lama berlangsung dan tampaknya medical warning belum pernah ada sehingga perkebunan tembakau dan industri rokok berkembang pesat. Dampaknya adalah terjadinya perluasan perkebunan tembakau baik yang diusahakan oleh onderneming maupun tembakau rakyat. Sejak perluasan tembakau pertama di Sumatera Utara dengan Tembakau Deli (1864) itu posisi perkebunan tembakau di Sumatera dan Jawa sangat baik di pasar internasional. 

Di sisi lain, kehidupan petani sangat tergantung pada perusahaan dan produk tembakau dan para petani tembakau lokal juga sudah berjalan dengan baik dan berlangsung beberapa abad. Akan tetapi setelah ditemukannya bahan-bahan kimia yang akan menandingi zat adiktif tembakau muncullah secara politis usaha menghancurkan zat adiktif dari tembakau. Itulah sebabnya lewat tangan-tangan internasional diusahakan agar tanaman tembakau dihancurkan karena dianggap berbahaya bagi kesehatan manusia sangat luar biasa. 

Pemerintah Indonesia pun terjerat dengan kontrak internasional untuk mematuhi larangan penanaman tembakau. Dari sedikit latar belakang kompetisi di atas memunculkan persoalan tentang kehidupan ekonomi petani tembakau. Berkaitan dengan masalah kehidupan petani muncul persoalan: 

1. Apa dampak larangan penanaman tembakau dan resistensi petani. 
2. Bagaimana sikap pemerintah terhadap korporat internasional? 
3. Terakhir posisi pemerintah menghadapi dilemma antara cukai dan loyalitas internasional? 

Pertanyaan-pertanyaan ini sekedar mengarahkan pembahasan persoalan tembakau dan kehidupan petani serta kemungkinan solusi lain sesuai dengan perkembangan politik global. Perkembangan Perkebunan Tembakau (ENI) Menurut cerita rakyat penggunaan tembakau secara tradisional sudah dilakukan masyarakat sudah sangat tua, konon sejak para wali. Ini berarti bahwa tembakau sudah dikenal sejak abad ke-15. Kebutuhan tembakau digunakan untuk konsumsi sendiri, yaitu untuk makan sirih atau nginang yang dilakukan untuk laki-dan perempuan, sedangkan yang kemudian dikonsumsi khususnya laki-laki tembakau untuk diisap dijadikan rokok. Kalau boleh dikatakan budaya makan sirih sebenarnya sudah tersebar di seluruh nusantara. Penggunaan tembakau terus meningkat sehingga di beberapa daerah di Jawa khususnya tanaman in dipelihara karena sangat menguntungkan. Orang menyebutnya „tembakau Jawa yang dibudidayakan di daerah Vorstenlanden, Kedu, Rembang, Bojonegoro, Besuki, dan Madura (van Deventer 1904: 35). Tembakau Jawa atau tembakau rakyat untuk konsumsi rakyat. Di sisi lain pemerintah kolonial mengembangkan perkebunan tembakau (tabac onderneming) yang dibudidayakan di Sumatera Utara (1864) di tanah-tanah Sultan (Stoler, 1985) dan beberapa tempat di Jawa seperti Vorstenlanden yang menggunakan tanah-tanah apanage (Suhartono, 1991) dan keresidenan Besuki (Sugijanto Padmo, 1999). 
Budidaya tembakau perusahaan sebagai „emas hijau cepat meluas karena untungnya menjanjikan bahkan pasar Eropa termasuk memonopoli tembakau Indonesia untuk bahan cerutu yang berkualitas. Jika dibandingkan ruas areal yang digunakan ternyata tembakau rakyat cukup luas dibanding tembakau perusahaan, tetapi secara kualitatif tembakau rakyat selalu tertinggal. Hal ini memang wajar karena tembakau rakyat terbatas memenuhi kepentingan konsumen lokal. Meski demikian keuntungan yang diperoleh petani tembakau lokal rata-rata lebih baik ketimbang petani tanaman pangan yang juga dikelola secara tradisional. 

Perkembangan perkebunan tembakau baik tembakau rakyat maupun tembakau perkebunan paska kemerdekaan masih berjalan wajar sesuai dengan kebutuhan pasar dan konsumen. Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) terus mengelola perkebunan tembakau pemerintah. Di samping itu, tembakau rakyat dikelola sendiri meski sebagian juga menanam jenis tembakau perkebunan. Mengenai jenis tembakau yang ditanam kemudian antara tembakau rakyat dan perkebunan tidak ada bedanya, meski rakyat juga menanam tembaku lokal untuk kepentingan tradisional. Namun, karena keuntungan lebih menjanjikan pada tembakau ekpor maka pemerintah pun memberikan bimbingan agar rakyat juga menanam jenis tembakau itu. Program ini tentu saja disambut baik rakyat karena memang jauh memberikan kesejahteraan. Kehidupan Sosial Ekonomi Meski sudah dibedakan antara petani tembakau lokal dan tembakau perusahaan dalam arti konsumennya yang berbeda, tetapi juga perolehan panen. Bagi petani tembakau lokal setidaknya kehidupan subsisen dapat diatasi, sedangkan tembakau perkebunan yang dihasilkan rakyat juga jauh lebih menjanjikan artinya kesejahteraan dari panen tembakau jenis itu jauh lebih baik. Berapa rata-rata pendapatan petani tembakau rakyat dan tembakau perkebunan. Dipastikan hasil panen mereka di dua jenis tembakau ini jauh lebih baik ketimbang petani tanaman pangan lainnya yang hasilnya sekedar memenuhi kebutuhan pangan saja. Kebutuhahan tembakau sebagai kebutuhan tertier jelas beda dengan yang primer, harganya jauh lebih tinggi sehingga mereka juga dapat keuntungan dari penjualan tembakau. Sejak tahun 1860-an tembakau Indonesia diekspor keluar negeri, khususnya ke Belanda, Jerman, Belgia, Luxemburg, Swiss, Spanyol, Prancis, Inggris, Denmark, dan Swedia. Tembakau Indonesia berkualitas baik dan cocok untuk bahan cerutu. Selain nikmat, cerutu Indonesia mampu menolak dingin dan bagi pengemarnya merasa lebih percaya diri dan prestisius. Sejak dulu pun para penghisap cerutu dan rikok pada umumnya sudah sadar bahwa mereka pasti kena dampak adiktif berupa nikotin. Sejak dulu pula mereka sudah berupaya mengurangi dampak itu dan mereka membuat pipa dari gading gajah, dari tulang kaki kelelawar besar, dan ada yang menyebutnya „pipa Landa. Fungsinya tentu sebagai filter agar bisa mengurangi bahaya nikotin yang masuk ke tubuh. Perolehan ekspor kolonial dari tembakau tercatat untuk Jawa saja mencapai 45.608 gulden pada 1870-1930 meski mengalami penurunan waktu depresi tahun 1930 menjadi 12.301 gulden (Sartono dan Djoko suryo, 1991: 110-111). Catatan produksi tembakau kolonial menunjukkan kenaikan dari 130 pikul tahun 1859 di Yogyakarta menjadi 1.853 pikul pada tahun 1862. Berapa produksinya di Surakarta pada desenia yang sama? Paska 1870 sumbangan keuntungan dari tembakau di Vorstenlanden mencapai 6% dari keseluruhan perolehan produksi tembakau Jawa yang naik menjadi sekitar 30% pada tahun 1930-an (Houben, 2002: 593-594). Pada masa Orde Baru, khususnya tahun 1979-1988 tercatat tembakau rakyat 78.242- 67.244 ton, tembakau Virginia 20.068-38.650, tembakau Besuki 20.258-6.994, Velden 2.677-1.919 (Sugijanto Padmo, 1991: 62). Angka-angka itu menunjukkan bahwa meski terdapat penurunan produksi tetapi pada dasarnya produksinya dalam jumlah relatif tinggi. Angka-angka yang dikumpulkan dari sumber lain agak berbeda tetapi menunjukkan kecenderungan yang sama bahwa dalam periode yang sama terjadi penurunan ekspor. Produksi tembakau berasal dari beberapa daerah di Jawa dan Sumatera. Deli, Vorstenlanden, Besuki, Lumajang, Madura, Bojonegoro, Jombang, Kedu, Boyolasli dan masih ada beberapa tempat lagi sebagai penghasil tembakau. Pasar tembakau Indonesia mencapai 176.000 bal per tahun. Jumlah yang cukup besar dan mendatangkan devisa yang bagi negara yang besar pula. Berikut adalah perkembangan ekspor tembakau tahun 1979 - 1988 dalam ton, meski sebagian besar turun. Tembakau Deli dari 2.338,1 menjadi 1.440,8 (-2.40%), Vorstenland 1.744,1 - 578,4 (-58%), Besuki 15.284,5 - 10.171,7 (-24,8%), Boyolali 800,0 – 1.113,8 (+87,35%), dan jenis-jenis lain 3.507,1 – 2.367,3 (-12,52%) (Abdul Kahar Muzakir, 1989: 14, sic.) Ekonomi rakyat Bagi petani, tembakau dianggap „emas hijau yang didambakan sebagai sumber penghidupan yang sudah berlangsung beberapa abad dan belum tergantikan sampai sekarang. Tembakau merupakan commercial crops yang jauh lebih banyak memberikan keuntungan bagi petani daripada mereka membudidayakan tanaman pangan tradisional. Sebagai contoh adalah sebidang tanah luas 2.500 m2 yang ditanami tembakau jika dijual 6 juta dan dikurangi biaya tanam 1,5 juta. Jika ditanami palawija hanya menghasilkan 1,8 juta dengan biaya 1 juta rupiah dan jika ditanami padi menghasilkan 2 juta dengan biaya produksi 1 juta. Jadi, harga jual dari panen tanaman pangan tradisional itu jauh lebih rendah dibanding penghasilan tanaman tembakau. Petani yang bisa menghasilkan tembakau srintil bakal panen uang. Istilah srintil untuk menunjukkan tembakau dengan kualitas tinggi atau tembakau totol F dan G yang harganya berkisar Rp 300.000,- - Rp 500.000,- /kg. tembakau kering, dan yang berkualitas istimewa mencapai Rp 850.000,-/kg. Saking hasil panen yang sangat baik, sebuah desa mampu mendirikan bangunan Sekolah Dasar, perbaikan jalan desa, balai desa, MCK yang higienis, dll. (Kompas, 7 Juni 2010).
Kennedy membeli 1.200 cerutu Kuba sebelum mengembargo

Pada tahun 2009, Bupati Temanggung, Hasyim Affandi mengatakan bahwa produksi tembakau kabupaten Temanggung mencapai 8.400 ton/tahun dengan nilai Rp 588 miliar, di atas APBD 2009 yang hanya Rp 587 miliar. Sebagai penghasil tembakau terbesar di Jawa tengah, Temanggung menerima bagi hasil cukai sebesar Rp 8,5 miliar. Dari angka-angka di atas jelas bahwa hasil panen tembakau memberikan kesejahteraan rakyat. Sangat elok jika hal ini dikaitkan dengan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai zat adiktif bagi kesehatan. Di samping itu fatwa haram merokok yang dikeluarkan MUI sangat bertentangan dengan kenyataan di masyarakat. Dalam menanggapi RPP itu ada berbagai macam respon petani tembakau. Dari respon yang berupa silent movement sampai dengan gerakan radikal. Di antara petani ada yang diam-diam terus menanam tembakau sampai dengan pemerintah mengeluarkan pelaksanaan RPP. Akan tetapi ada petani yang mencari alternatif lain sebagai tanaman pengganti. Namun, juga ada petani yang mengerahkan massa dengan menggelar demo di Jakarta. Sekitar 4000 petani yang tergabung dalam APTI Jateng melakukan demo di Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian kesehatan, dan DPRD. Sampai sekarang RPP itu masih dalam posisi menggantung. Sementara itu, pemerintah masih dalam sikap ragu-ragu, sebab kalau RPP itu nantinya diberlakukan maka pemerintah kehilangan cukai sekitar 50 triliun/tahun. Jumlah ini sangat signifikan jika digunakan untuk menambal APBN. Selain itu angin kencang dan tekanan keras dari internasional memaksa pemerintah untuk melaksanakan RPP. Bagaimana tidak mungkin jika pemerintah yang mengikuti neoliberalisme itu pasti berpihak pada kekuatan pasar bebas. Hal ini bukan mudah bagi pemerintah untuk mengambil sikap yang sebenarya, seperti makan buah simalakama. Kehidupan petani dan buruh sangat tergantung dari kelangsungan perkebunan tembakau dan perusahaan rokok. Artinya mereka mampu bertahan hidup sejak beberapa abad lalu meski hidup dalam kondisi subsisten. Namun, boleh dikatakan bahwa kehidupan mereka jauh lebih baik disbanding dengan petani pengelola tanaman tradisional. Petani tembakau selagi panen baik mampu berspekulasi dengan mengonsumsi barang kebutuhan elektronik, motor, mobil, rumah dan juga „naik haji yang sulit dijangkau oleh petani tradisional. Karena spekulasi dan naluri panen produk komersial dengan hasil yang lebih besar maka mereka mampu menikmati kehidupan petani tembakau dengan gaya hidup yang berbeda dengan petani biasa. Korporat internasional Sejak runtuhnya Uni Soviet tahun 1991, dunia ini tinggal ada satu kekuatan tunggal yaitu Amerika Serikat. Tentu saja sebagai super power dan berfungsi sebagai polisi dunia berhak mengontrol semua yang terjadi dan melakukan apa yang dikehendaki. Kepentingan dan interes sendiri berunjung pada keuntungan yang diperoleh sejalan dengan semangat liberalisme dan pasar bebas. 

Sehubungan dengan masalah tembakau dan ada kaitannya dengan zat adiktif, AS mengambil posisi sebagai sebagai pemberi peringatan dan berdalih sebagai penjaga kesehatan masyarakat dunia, maka AS menjadikan World Health Organization (WHO) atau Badan Kesehatan Dunia sebagai wahana mendapatkan keuntungan ekonomis. Pada tahun 1987 WHO sudah menetapkan Hari Tembakau Internasional atau World No Tobacco pada tanggal 31 Mei dan tanggal itulah dijadikan hari inisiasi dunia. Seruan untuk mengurangi produksi tembakau diterima negara-negara di dunia ini, meskipun ada yang setuju, tidak setuju, dan ragu-ragu terhadap seruan itu. Sementara negara-negara yang tidak setuju terhadap kampanye anti-tembakau melakukan counter-campaign dan berargumentasi bahwa kampanye antitembakau adalah inisiatif WHO di bawah Direktur Jenderal G. Harlem Brundland yang sarat dengan kepentingan bisnis dari korporasi farmasi internasional. Sejak awal kampanyenya dia mendapat dukungan dari korporasi farmasi internasional. Yang menjadi tujuannya adalah memperlancar perdagangan obat-obat Nicotine Replacement Therapy (NRT) yang sebelum lahirnya proyek WHO ini, telah bersaing dengan industri tembakau dalam bisnis nikotin, Jadi, jelas bahwa motif utamanya adalah kepentingan bisnis (KR, 2 Juni 2010). Indonesia termasuk 21 negara anggota WHO dan satu-satunya di kawasan Asia-Pasifik yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FTFC). Akan tetapi apa yang dilakukan Indonesia ternyata masih bersikap ragu-ragu dan slow down meski sering-sering dimunculkan di permukaan untuk melaksanakan RPP No. 36 Tahun 2009 tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai zat adiktif bagi kesehatan. Baik FTFC maupun RPP mengatur: 1 Pelarangan dan sponsor rokok, 2. Mengatur pembatasan areal tembakau secara bertahap dan pengaturan rokok bernikotin rendah. Jelas tujuan WHO adalah untuk melindungi kesehatan masyarakat terhadap insidensi penyakit fatal dan penyakit yang menularkan kualitas hidup akibat menggunakan produk tembakau. Tekanan global yang merupakan representasi korporat internasional jelas sangat meresahkan masyarakat, terutama bagi kehidupan masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari produk tembakau. Namun, perlu persiapan matang guna menghadapi dampak yang luar biasa terhadap kehidupan petani tembakau dan buruh pabrik rokok yang bergelut dengan tembakau. Mengutip pendapat penulis anonim di sebuah surat kabar sungguh sangat menggelitik yang mengatakan bahwa “Refleksi kita harus memberi kejelasan, apakah memperingati Hari-Anti Tembakau Internasional menghasilkan sesuatu bagi kesehatan masyarakat ataukah kita terkapar pada isu besar kepentingan korporasi internasional yang saling membunuh dengan alasan etis”. (KR, 2 Juni 2010). Tidak pelak bahwa sebagian masyarakat Indonesia setuju dengan program WHO. Pada tanggal 31 Mei 2010 Wali Kota Padang Panjang, Suir Syam menerima penghargaan atas inisiatif memerangi rokok di kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Penghargaan itu berupa TAPS (Tobaco Advertisement, Promotion, and Sponsorship dan Awards for Significant Performance on Tobacco Smoke Free Area Development). Alasan awards itu diberikan karena Padang Panjang kehilangan iklan rokok 100 juta, tetapi rumah sakit bisa mengurangi penerimaan pasien penderita nikotin dari 30 menjadi 5 orang saja/hari (Kompas, 1 Juni 2010). Selanjutnya Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengatakan akan membahas RPP tahun 2010, tetapi sampai sekarang belum muncul berita tentang RPP itu. Di sisi lain, malahan di beberapa Rukun Wilayah di kota Yogyakarta menjadi pencontohan kampong bebas rokok. Di kampung lain merokok „masih seperti yang dulu. Dependensi global harus diakali dengan caranya sendiri sebab korporat internasional tidak mesti keras dengan aturannya, akan tetapi ada kelonggaran yang berlaku di tingkat local. Neoliberalisme memang sedang mengancam otonomi yang sudah seharusnya ditolak karena bertentangan dengan kebijakan lokal dan kesejahteraan lokal pula. Pemerintah perlu diajak berembuk untuk mengulur berlakunya RPP atau membatalkan sama sekali demi kepentingan rakyat banyak. Nasib petani tembakau sangat tergantung dari goodwill pemerintah yang sampai kini sangat dilematis, di satu pihak kecenderungan neoliberalisme yang mengikuti kemauan pasar dan di pihak lain melindungi nasib petani tembakau. Jika pemerintah loyal terhadap korporat internasional berarti pemerintah mengorbankan petani tembakau dan seluruh kegiatan yang berhubungan dengan produksi hulu-hilir tembakau. Dan jika pemerintah konsekuen dengan pelaksanaan RPP berarti bakal terjadi antara lain: 1. Pengangguran dalam sekala terbatas bakal terjadi di Jawa Tengah dan dalam sekala luas bakal terjadi di Indonesia, di daerah-daerah penghasil tembakau. Di Jawa Tengah saja tercatat 7 juta orang yang hidup dari produk tembakau. Dari 7 juta orang itu 45% adalah keluarga petani tembakau. Mereka tersebar di kabupaten Temanggung, Wonosobo, Magelang, Banjarnegara, Boyolali, Kebumen, Purworejo, Klaten, Grobogan, Demak, Kendal, dan Semarang. Luas areal tembakau Jateng mencapai 38.566,30 ha dengan produksi 28.766,17 ton tahun 2009 (Kompas, 7 Juni 2010). Masih ada beberapa daerah perkebunan tembakau di DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Sumatera Utara. Selain petani tembakau, buruh perusahaan rokok juga terlibat kebijakan pemerintah. Di Kudus saja ada 9 perusahaan rokok besar yang mempekerjakan 98.000 buruh. Secara
keseluruhana ada sekitar 200 perusahaan besar, sedang, dan kecil. Setiap buruh bisa mengerjakan dengan melinting 2000-3000 batang rokok/hari hanya dengan upah Rp 18.000,- - Rp 27.000,- Mereka juga tidak bekerja seminggu penuh, atau sekurang-kurangnya asap dapur tetap mengepul. 2. Pendapatan berupa cukai. Produksi tembakau Jateng itu menghasilkan cukai Rp 282 miliar, dengan pembagian Rp 84,6 miliar masuk provinsi dan Rp 197,4 miliar dibagikan kepada 25 kabupaten. 3. Tanaman pengganti. Kemungkinan tanaman lain sebagai tanaman komersial yang mengganti tembakau yang setingkat belum ditemukan. Memang jambu biji bisa mengantikan tetapi keuntungannya jauh di bawah tembakau. 4. Petani tembakau masih menanam tembakau sambil wait and see. Jika RPP diberlakukan maka perusahaan rokok dan petani tembakau bakal resah. Diperkirakan dalam dua puluh tahun mendatang tinggal 5-6 perusahaan. Ini berarti bakal terjadi gelombang PHK besar-besaran yang menyengsarakan petani, buruh dan juga perusahaan rokok dan tembakau. 5. Pemerintah berwibawa. Pemerintah harus bersikap dan berpihak pada rakyat dan melindunginya dari likuidasi korporat asing yang tidak manusiawi. Kesimpulan Antara „madu dan racun, demikian orang harus memilih. Madu karena tembakau mendatangkan devisa yang sampai sekarang devisa itu terus dikeduk. Racun karena kandungan nikotin yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Dengan kata lain, penggunaan tembakau banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Meski demikian, penggunaan tembakau sudah berjalam beberapa abad dan tetap juga memberi kesejahteraan petani tembakau dan pihak lain yang terlibat. Yang terakhir terjadi kompetisi di tingkat global, yaitu persaingan korporat internasional tentang bisnis zat adiktif. Dengan bantuan WHO pihak protembakau terdesak termasuk pemerintah RI yang akan memberlakukan RPP 36 Tahun 2009. Namun, kenmyataannya pemerintah harus berpikir dua kali, artinya mengikuti korporat internasional dengan akibat tidak akan mendapat devisa dan juga kesejahteraan petani dan buruh tembakau dan rokok bakal hilang. Itulah sebabnya pemerintah sepertinya mengulur pelaksanaan RPP 36/2009. Indonesia harus patuh pada WHO, karena memang zat adiktif ada pada tembakau dengan konsekuensi penggunanya terserang berbagai penyakit. Konsekuen dengan „perintah WHO berarti pemerintah harus menggantikan tanaman komersial. Akan tetapi hasilnya belum ada meski jambu biji diusahakan sebagai pengganti.

Dampak lain adalah kerugian pajak sebesar 50 triliun dan harus dicarikan penggantinya. PHK besar-besaran yang berdampak pada kegoncangan sosial dengan efek merebaknya kriminalitas. Sementara pemerintah belum siap maka RPP itu akan ditunda pelaksanaannya. Dilema yang menghadang pemerintah adalah antara loyalitas pada korporat internasional atau kehilangan devisa plus nasib jutaan rakyat yang tentunya tetap menjadi tanggung jawab pemerintah. 

Bibliografi. 
Abdul Kahar Muzakir. Pemasaran Tembakau Perkebunan. Yogyakarta: LPP, 1989. 
Amin, Samir.Imperialism and Unequal Development. New York/London: Monthly Review Press, 1877. 
Baneerje, Abhiyat.Vinayak, Roland Venabore and Deloji Moekerjee (eds.). Understanding Poverty. Oxford: Oxford University Press, 2006. 
Booth, Anne. Agricultural Development in Indonesia. Sydney: Allen & Unwin, 1988. 
Burger, D.H. De ontsluiting van Java’s binnenland voor het wereldverkeer. Wageningen: H. Veenman & Zoon, 1939. 
Chossudovsky, Michel. Globalization of Poverty and the New World Order. Montreal: CRG, 2003. Deventer, C. Th. Van. Overzicht van den economische toestand der inlandsche bevolking van Java en Madoera. „s-Gravenhage: M. Nijhoff, 1904. 
Elson, R.E. Village Java under the Cultivation System 1830-1870. St. Leonard, NSW. 1994. 
Furnivall, S.J. Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge: Cambridge University Press, 1944. 
Hall, C.J.J. en C. Koppel (eds.). De landbouw in den Indische Archipel. 3 dl. „s-Gravenhage: W. van Hoeve, 1962. Haspel, C.Ch. van den. Overzicht in overleg: Hervormingen van justitie, grondgebruik en bestuur in de Vorstenlanden op Java, 1880-1930. VKI, 111. Dordrecht: Foris, 1985. 
Houben, Vincent J.H. Keraton dan Kompeni. Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870. (terj.). Yogyakarta: Bentang, 2002. 
Kebudayaan, Perdagangan dan Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius, 2005. 
Kegley, Jr. Charles and Eugene R. Wittkopf. World Politics: Trends and Transformation. Boston: Bredford/St. Martins, 2001. 
Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial-Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media, 1991.
Stoler, Ann Laura. Capitalism and Confrontation in Sumatra’s Plantation Belt 1870-1979. New Haven and London: Yale University Press, 1985. 
Sugijanto Padmo. Tobacco Plantations and Their Impact in Surakarta Residency, 1860-1960s. Yogyakarta: Aditya Media, 1999. 
___________________ dan Edhi Djatmiko. Tembakau: Kajian Sosial-Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media, 1991. 
Suhartono. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta, 1830-1920. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991. 
Surat Kabar “Alih Ekonomi. Mencari yang menguntungkan”. Kompas, 7 Juni 2010. 
“Banyak Hujan, Tanaman Tembakau Membusuk”, KR, 3 Juni 2010. 
“Berdaulat dengan Tembakau”, Kompas, 7 Juni 2010. 
“Dari Anak Merokok ke Nasib Petani Tembakau”, KR , 2 Juni 2010. 
“Mematahkan” Mitos Ekonomi Tembakau. Kompas, 7 Juni 2010.
 “Nasib Industri Rokok. Biarkan Asap Dapur Terus Mengepul…”, Kompas, 7 Juni 2010.
 “Penghargaan WHO untuk Padang Panjang”, KR, 1 Januari 2010.

Pemberdayaan Ekonomi Desa



Profesor Mubyarto,almarhum pernah menyatakan pemikiran mengenai sistem Ekonomi Pancasila.Salah satunya tentang ekonomi perdesaan.Menurut beliau desa sebaiknya menjadi pasar produksi daerah.Maksudnya adalah,semua barang-barang hasil produksi pertanian maupun kerajinan dan produksi masyarakat yang lain dipusatkan pemasarannya di pasar desa.Broker-broker kota dan toko-toko di kota harus berbelanja di desa untuk mendapatkan barang-barang tersebut dan dipasarkan di kota.

Dengan demikian petani dan produsen desa memiliki kekuatan dan diberdayakan dengan hasil produksinya.Tetapi pada kenyataannya yang terjadi justru berbeda.Pemerintah desa atau Kecamatan membuat pasar dan kios-kios yang memadai dengan maksud seperti gagasan pusat ekonomi di desa.Namun ternyta kios-kios itu akhirnya dibeli oleh para pedagang kota,karena sewa atau harganya sangat mahal sehingga petani tidak kuat menyewa atau membelinya.Produsen desa atau orang desa yang akan menjual hasil produksi desa justru tidak memperoleh tempat untuk memasarkan barang dagangannya. Sebaliknya para pemilik modal dari kotalah yang justru berhasil menjual barang-barang produksi perusahaan-perusahaan multinasional ke desa-desa.Petani atau produsen desa harus membeli uang dngan hasil produksinya untuk membeli barang-barang konsumsi produksi perusahaan m
ultinasional tersebut.

Saturday, August 25, 2012

Fariz RM (Sakura Dalam Pelukan)



Tepat 30 tahun silam,tiba-tiba menyeruak sebuah kaset yang cukup banyak mengundang perhatian.Fariz yang saat itu lebih dikenal sebagai drummer alumni SMA III Jakarta dan ikut mendukung album fenomenal LCLR 1977,"Badai Pasti Berlalu" (1977) dan dua album Keenan Nasution "Di batas Angan Angan" (1978) dan "Tak Semudah Kata-Kata" serta meraih perhatian publik lewat karyanya "Hasrat dan Cita" yang disenandungkan almarhumah Andi Meriem Mattalatta tanpa diduga merilis album solo yang betul-betul solo.Karena di albumnya yang diberi judul "Sakura" ini Fariz nyaris memainkan seluruh instrumen musik.
Mulai dari drum,perkusi,bass,gitar,piano,mellotron,synthesizers ternasuk menulis semua lagi,mengaransemen serta menyanyikannya sendiri.Ada beberapa bantuan dari bberapa sahabat seperti Anita Carolina Mohede yang berduet bersama Fariz dalam lagu "Mega Bhuana","Malam Kesembilan" dan "Nada Cinta".Almarhum Wibi AK bermain perkusi pada "Malam Kesembilan" serta beberapa lirik yang ditulis Jimmy Paais dan Anton Panggabean.
Ini sesuatu yang baru,walaupun Keenan dan Yockie pernah berbuat hal yang sama pada album "Jurang Pemisah" dan "Di Batas Angan Angan".Bedanya Fariz RM melakukannnya pada 9 komposisi yang terdapat di album yang dirilis Akurama Record ini.Stevie Wonder dan Mike Oldfield adalah salah satu artis luar yang pernah menggagas cara bermain solo seperti ini di era 70-an.Saat itu memang belum dikenal teknik MIDI atau music programming.Jadi setiap alat musik yang dimainkan diisi satu persatu pada track yang tersedia,seytelah itu baru dirangkum menjadi satu kesatuan seperti layaknya sebuah band yang utuh dan lengkap.
Terbayangkan betapa ribet dan repotnya seorang Fariz RM melakukan hal yang tidak prkatis itu,mengingat teknologi saat itu memang belum dikenal dalam industri musiki Indonesia.
Kenapa Fariz nekad melakukan hal ini ? Sekedar gagah-gagahan belaka ? "saya tak memiliki banyak budget untuk membiayai produksi album ini.Karena kebetulan saya bisa memainkan beberapa alat musik.Akhirnya saya memilih cara seperti ini" ungkap Fariz RM.
Di luar dugaan album "Sakura" ternyata menuai keuntungan.Lagu "Sakura" yang sebelumnya telah dinyanyikan Grace Simon dalam film "Sakura Dalam Pelukan" yang dibintangi Liem Swie King itu menjadi hits besar Fariz RM.Lagu yang dikemas dalam beat disko bernuansa R&B ini juga menyertakan sebuah spoken berbahasa Jepang pada bagian interlude dimana Fariz memberi aksentuasi berupa cabikan bass beratmosfer funk yang kental.
Sebagian lagu yang ada di album ini bernuansa disko,funk,R&B.Plus teknik falsetto yang diperagakan Fariz pada beberapa lagu seperti "Cermin Noda","Mega Bhuana" ,"Perjalanan" atau "Suasana yang Ada".
Di era itu teknik falsetto memang tengah ngetren,terutama ketika Bee Gees memperdengarkan gaya ini pada album "Main Course" hingga "saturday Night Fever" yang bernuansa disko funk R&B.
Jangan lupa pula merebaknya musik R&B funk milik Earth Wind & Fire maupun George Duke,yang dua-duanya kerap secara instens mengedepankan suara falsetto,adalah pengaruh yang sangat terasa kuat dalam racikan musik yang dilakukan Fariz rM.
Pada lagu "Semusim" yang bertamosfer piano song,kita bisa teringat dengan lagu-lagu piano ballad ala Stevie Wonder seperti "You and I" atau "Too Shy To Say".
Fariz dengan segenap pengaruh pengaruh musik yang didengar untuk kemudian diserapnya itu menjadikan album ini bisa dianggap pemicu sebuah warna baru lagi dalam hiruk pikuk musik Indonesia saat memasuki era 80-an.Tak berlebihan rasanya jika mengklaim album "Sakura" ini sebagai album terbaik dan sebuah masterpiece dari Fariz RM

Tracklist
1.Sakura
2.Selangkah Ke Seberang
3.Belenggu (Perjalanan)
4.Semusim
5.Nada Cinta
6.Mega Bhuana
7.Suasana Yang Ada
8.Cermin Noda
9.Malam Ke Sembilan

Sejarah Perkotaan Dan Ekonomi Perkebunan

                                                            Oleh: Soegijanto Padmo

1.Pengantar
Kota sebagai suatu pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial dan budaya baru berkembang dengan pesat sekitar dua abad terakhir. Dengan kemajuan teknologi yang ditandai dengan munculnya Revolusi Industri serta dikembangkannya berbagai industri massa membuat berbagai kota-kota tumbuh dengan pesat. Pertumbuhan itu ditandai antara lain dengan dibangunnya gedung baik untuk pemukiman, pelayanan publik maupun kegiatan industri; sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi; serta urbanisasi yaitu arus kedatangan penduduk pedesaan ke kota (Lihat http://en.wikipedia.org/”Urban History”; http://en.wikipedia.org/”Urban Geography”).

Pada pertengahan abad ke-19 kota-kota di Jawa masih merupakan kota tradisional meskipun beberapa kota di pantai utara Jawa sudah berfungsi sebagai kota pelabuhan yang melayani pelayaran antar pulau antara Jawa-Banjarmasin-Makasar; serta Jawa- Singaraja; maupun Jawa-Jambi-Malaka (O’Campo, 1987; Mashuri, 2000; Singgih Tri Sulistiyana, 1999). Sementara itu kota di pedalaman menjadi pusat kegiatan ekonomi dan politik di hinterland yang bersifat agraris feudal. Apabila dalam proses perkembangannya kota pantai memperoleh dukungan dari kegiatan perdagangan antar pulau maka perkembangan kota pedalaman didukung oleh kemampuan industri pedesaan serta industri manufaktur yang berkembang di kota, serta yang muncul pada paruhan kedua abad ke-19 adalah industri perkebunan (Lihat Soegijanto Padmo, 1999; Fernando, 1982; O’Malley, 1988; Loekman Sutrisno, 1982; dan Elson, 1982). Sebagai pusat kegiatan ekonomi, kota mempunyai berbagai kegiatan ekonomi seperti kegiatan industri dan manufaktur, serta kegiatan pelayanan dan jasa yang mencerminkan tahap perkembangan kehidupan masyarakat kota yang semakin kompleks. Dalam makalah ini akan dibahas tentang hubungan antara perkembangan kota Surakarta dengan ekonomi perkebunan pada periode 1860-1940.

2.Surakarta dan Perusahaan Perkebunan.

Kota Surakarta dibangun pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono II sebagai ganti Kartosuro yang dianggap tidak layak lagi sebagai ibukota kerajaan. Wilayah Kasunanan Surakarta seluas 6.215 kilometer persegi dengan penduduk 358.230 orang pada 1838 menjadi 2.049.547 jiwa pada 1920 (Deskripsi pada bagian ini berdasarkan pada Suhartono, 1991; Sariyatun, 2003; Suyatno, 1982 kecuali apabila disebut secara khusus). Wilayah kasunanan Surakarta merupakan daerah pertanian yang subur terutama daerah barat yaitu daerah Pajang dan daerah di bagian timur yaitu daerah Sokaowati merupakan daerah yang kurang subur.

Sejak dasawarsa pertama abad ke-19 Vorstenlanden yaitu daerah kerajaan Jogjakarta dan Surakarta persewaan tanah telah dilakukan baik oleh orang Cina maupun orang Eropa. Pada tahun 1816 sampai 1821 misalnya di Surakarta terdapat 16 , 6, 8, 19, 50 dan 27 orang Belanda yang menyewa lahan, sementara itu baru pada 1820 terdapat seorang Cina dan pada 1821 terdapat 63 orang Cina lain menyewa lahan di Surakarta. Di Jogjakarta sejak tiga tahun sebelumnya yaitu pada 1814 telag ada 3 orang Belanda yang menyewa lahan Sultan untuk membangun peristirahatan di Bedoyo. Pada tahun berikutnya sampai tahun 1820 terdapat masing-masing 2, 8, 19, 30, 2, dan 1 orang Belanda menyewa lahan di Jogjakarta. Seperti halnya di Surakarta baru pada 1815 orang Cina mulai menyewa lahan di Jogjakarta (Soegijanto Padmo, 1999:47).

Perkebunan yang dilakukan pada masa awal meliputi tanaman semusim seperti indigo, padi, serat, maupun tanaman keras seperti kopi. Sampai dengan pertengahan abad ke-19 sifat pengusahaan tanaman perkebunan masih bersifat coba-coba dengan cirinya antara lain bahwa kegiatan itu merupakan perusahan patungan antara beberapa orang atau keluarga kaya, mengusahakan di lahan persawaan yang relative sempit yaitu antara 30-50 bau, menguasahakan tanaman local seperti padi, serat, dan kopi, menggunakan teknologi sederhana, produksi skala kecil, serta pemasaran di pasar local. Perkebunan pada masa awal belum menunjukkan adanya pembedaan antara tanaman dataran rendah seperti tembakau dan tebu bukannya padi dan serat maupun tanaman pegunungan atau dataran tinggu seperti kopi karena berbagai tanaman itu ditanam di dataran rendah seperti di Gantiwarno, Klaten. Beberapa tanaman yang semula lebih dimaksudkan sebagai tanaman hias seperti tanaman kopi, di sekitar tempat peristirahatan Keluarga Kasunana maupun orang Belanda seperti di Tawangmangu pada masa berikutnya diusahakan dalam skala luas sebagai perkebunan.
Perkembangan perusahaan perkebunan di Surakarta berjalan cukup pesat bukan hanya untuk perkebunan di wilayah dataran rendah yang subur tetapi juga perkebunan yang diusahakan didataran tinggi seperti di lereng timur Gunung Merapi serta perbukitan di sekitar Tawangmangu.

 Jumlah perusahaan serta tanaman yang diusahakan. Sistem tanam Paksa yang diterapkan pemerintah colonial di Tanah Jawa sebagai cara untuk memperoleh penyerahan wajib atas hasil bumi pada periode 1830-1870 tidak dapat diterapkan di wilayah Kerajaan yang masih dianggap memiliki kekuasaan. Meskipun demikian pada kurunntersebut para pengusaha Eropa berhasil memperoleh kesempatan menyewa lahan para bangsawan untuk mengusahakan tanaman perkebunan seperti indigo, gula, dan kopi. Para pengusaha Belanda, yang dilarang membuka usaha di daerah lain di jawa, cenderung mengkonsentrasikan usaha mereka di Wilayah Kerajaan terutama setelah 1842.

Pada pertengahan abad ke-19 beberapa tanaman perkebunan memperoleh tempat yang penting di Surakarta. Antara tahun 1842-1849 jumlah produksi kopi di wilayah Mangkunegaran adalah 2.169 kuintal sementara wilayah Kasunanan memproduksi 39.262 kuintal. Dalam waktu tiga tahun, yaitu antara 1861-63, produksi meningkat menjadi 12.127 kuintal di wilayah Mangkunegaran dan 38.020 kuintal di wilayah Kasunanan. Pada 1863, produksi indigo di wilayah Surakarta diperkirakan 32.597 kilogram (Pringgodigdo, 1950).

Tahun 1870 dengan dicanangkannya Undang-undang Agraria menandai berakhirnya pelaksanaan STP di Jawa. Kebijakan baru ini bertujuan untuk mendukung perkembangan perkebunan swasta di Tanah Jajahan, yang secara nyata mendorong meningkatnya jumlah perusahaan perkebunan yang beroperasi di tanah jawa termasuk Surakarta.

Bebarap tanaman tertentu seperti indigo, gula, dan kopi, tetap menjadi tanaman penting pada kurun system liberal. Setelah tahun 1915, proses penggabungan perusahaan swasta Belanda dimulai. Beberapa perusahaan kecil yang merasa kurang kuat untuk bersaing dalam usaha diambil alih oleh perusahaan besar sehingga perusahaan perkebunan yang semula berjumlah 98 menjadi 80 perusahaan pada 1920. Meskipun jumlah perusahaan berkurang namun jumlah modal yang ditanam serta lahan yang dikuasai bertambah. 5

Pada 1906 dikeluarkan Staatblad nomor 93 yang memuat peraturan pemerintah colonial tentang penyewaan lahan di Surakarta yang memberi hak menyewa lahan kepada dua pihak yaitu

Orang Belanda, dan Orang Eropa lain yang mempunyai kegiatan usaha serta perusahaan dagang yang didirikan di Hindia Belanda.

Dengan adanya peraturan ini maka orang Cina yang pada awal abad ke-19 mendominasi persewaan lahan di Surakarta harus melepaskan usahanya dalam persewaan lahan di Surakarta.
Pengusaha swasta Belnda menyewa lahan dari pemegang hak atas tanah atau patuh, yaitu pejabat dan kerabat Sunan. Pada prakteknya, mereka menyewa hak dari patuh termasuk hak menggunakan bekel dan penduduk guna mengguasahakan tanaman perkebunan. Ini berrti bahwa penduduk desa yang dikoordinasikan oleh bekel, mengalami beban kerja yang berat di perkebunan. Perkebunan gula terutama memerlukan kerja berat dari petani (Geertz, 1963).

Hubungan antara penyewa lahan dengan pemegang hak tanah apanage dibawah control Patih atau Bupati Nayoko. Sistem sewa tanah untuk tanaman perkebunan dilakukan dengan cara system glebagan, yaitu rotasi dalam penggunaan lahan. Hak atas tanah dibagi menjadi dua blok yaitu blok A dan blok B. Perusahaan perkebunan diberi hak menggunakan lahan blok A padatahun genap dan menggunakan blok B pada tahun ganjil. Di kala perkebunan menggunakan lahan blok A maka petani berhak mengerjakan lahan di blok B demikian sebaliknya (Adatsrechtbundels, Vol, 19:370; Supomo, 1927:44-45). Dalam system persewaan ini, pengusaha Belanda memperoleh hak para patuh, sementara bekel dan penggarap diwajibkan bekerja untuk kepentingan perusahaan perkebunan. Sistem serupa dipraktekkan di Jogjakarta, dimana dampak yang berat pada bekel dan para petani penggarap dilukiskan oleh Selo Sumarjan (1962:33-34). 6

3.Kegiatan Ekonomi dan Pembangunan Sarana Prasarana Kota
Pengaruh perkebunan Eropa thd ekonomi petani sangatlah besar, terutama pada periode STP dan system liberal. Dalam system apanage, bekel menguasai lahan dengan luasan tertentu dengan persetujuan patuh termasuk penduduk yang tinggal di tempat tersebut. Hak penduduk atas lahan itu adalah hak anggaduh atau hak menggarap. Patuh mempunyai hak memperoleh tenaga kerja dari penggarap yang disebut bau suku dan pasumbang, yang diperoleh saat ia punya kerja atau acara tradisional lainnya. Selain itu penggarap juga wajib bekerja di lahan patuh yang lain yang disebut kerja kuduran.

Peraturan tentang kerja wajib perkebunan mulai dilaksanakan pada 23 Agustus1909 yang kemudian dikuatkan dengan peraturan Sunan untuk daerah Kasunanan dengan Rijksblad Surakarta, no. 23, 1917 dan untuk Mangkunegaran dalam Rijksblad Mangkunegaran, no. 23, 1920. Tujuan dikeluarkannya aturan ini adalah untuk menjamin agar tenaga yang diperlukan perusahaan perkebunan tersedia setiap saat diperlukan. Jenis pekerjaan adalah bermacam-macam. Pertama, intiran, yaitu kerja di lahan perkebunan selama 10 jam setiap lapan atau 35 hari. Kedua, jaga malam di perkebunan. Ketiga, gugur gunung, yaitu kerja kolektif tanpa upah untuk kepentingan desa atau perkebunan. Lazimnya gugur gunung digunakan untuk memperbaiki atau memelihara saluran irigasi. Bekel dan penggarap bertangung jawab atas pemeliharaan saluran irigasi. Warga desa yang bebas dari kerja wajib ini adalah bekel dan wong numpang, yaituwarga desa yang tidak memiliki rumah dan tanah.

Di Surakarta, petani melakukan kerja wajib dengan upah di perkebunan yang disebut glidig. Penggarap wajib bekerja di perkebunan dengan pengawasan bekel yang melakukan fungsinya sebagai pemimpinnya orang kecil atau pangarepe wong cilik. Bekel dan penggarap yang melalaikan kerja wajib akan menerima hukuman berupa kerja wajib tanpa upah selama tiga bulan hanya memperoleh makanan ringan. Dalam system glidig ini seperti dilaporkan oleh Pringgodigdo (loc.cit) penggarap hamper tidak punya waktu untuk mengerjakan lahan yang menjadi hak mereka. Keadaan inilah yang memicu munculnya system penyakapan dimana wong numpang dapat memperoleh lahan garapan dengan system maro.

Kerja wajib di perkebunan yang menyita sebagian besar waktu penggarap sehingga mereka tidak punya waktu untuk menggarap lahannya merupakan berkah bagi wong numpang. Dalam penelitian yang dilakukan di Klaten Soegijanto Padmo (1999) melaporkan bahwa desa perkebunan kuli penggarap, isteri dan anak-anaknya harus dikerahkan ke ladang perkebunan agar terbebas dari hukuman. Sementara itu system penyakapan yang lazim adalah system maro dimana seluruh sarana produksi menjadi tanggung jawab penyakap. Dengan meningkatnya jumlah penduduk yang tidak memiliki lahan garapan sementara lahan garapan relative stabil, sebagimana dikemukakan oleh Geertz (1963) akan terjadi proses involusi dimana syarat penyakapan semakin berat sementara imbalan yang diterima oleh penyakap semakin kecil.

Prinsip kerja bebas yang diterapkan oleh pemerintah pada awal abad ke-20 memperoleh dukungan pengusaha swasta sampai dengan Masa depresi Ekonomi. Pada masa ini ekonomi uang sedemikian dasyat merasuk ke dalam kehidupan masyarakat Surakarta. Perusahaan perkebunan yang ada di Surakarta tersebar dari Prambanan-Sorogedug di bagian barat sampai Gondang-Sragen di ujung timur, serta di Wonogiri di ujung selatan sampai Boyolali dan lereng Merapi di ujung utara dapat dijumpai perkebunan semusim seperti tebu dan tembakau maupun tanaman tahunan seperti kopi dan teh. Perkebunan itu memerlukan sejumlah besar tenaga kerja yang bukan hanya berupa petani laki-laki dewasa tetapi juga tenaga wanita dan anak yang diperkerjakan pada berbagai pekerjaan baik di ladang maupun di emplasemen, serta perjaan yang rutin setiap saat harus dikerjakan sampai pada pekerjaan incidental. Dapat dikatakan bahwa pada masa jayanya perkebunan penduduk pedesaan lebih memilih bekerja di perkebunan daripada sebagai penggarap atau pemilik tanah atau kuli kenceng pada Reorganisasi Agraria 1916.

Fenomena semacam ini juga ditemukan di Pasuruan. Dalam penelitian yang dilakukan di Pasuruan Elson (1982) mengatakan bahwa perkebunan tebu telah mendorong munculnya kelas baru yaitu tukang grobag. Mereka merupakan kelompok masyarakat baru yang berhasil menangkap peluang ekonomi yang diciptakan oleh ekonomi perkebunan. Di Surakarta rupanya transformasi social mulai menunjukkan bentuknya antara lain dengan 8

munculnya kelompok baru dalam masyarakat pedesaan adalah kelompok masyarakat yang aktif dalam sector sekunder yaitu pengolahan hasil pertanian serta manufaktur lain seperti pembuatan pakaian atau konfeksi, pembuatan mebeler atau alat rumah tangga atau sector tertier seperti penjualan jasa angkutan, pemasaran, dan hiburan.

Tentang upah yang diperoleh kuli, Suhartono (ibid) melaporkan bahwa buruh wanita dan anak-anak dipekerjakan di gudang, kebun kopi dan tembakau, sedangkan laki-laki diserap dalam kegiatan di pabrik atau los pengeringan dan kebun tebu dan tembakau. Upah yang diterima tergantung ringan-beratnya pekerjaan Upah harian yang diberikan pada 1832 sebesar 10 sen mengalami kenaikan pada 1864 menjadi 12,5 sen dengan memperoleh makan sekali. Pada 1865 upah dinaikkan menjadi antara 20-50 sen. Di pabrik gula upah kerja siang hari berkisar antara 20-35 sen, untuk malam hari antara 22- 40 sen, dan untuk kerja yang berat dibayar 50 sen.

Sistem upah juga dibedakan antara kuli tetap dengan kuli lepas. Pada 1875 kuli tetap menerima upah sebesar f.9-f.20 sebulan. Kuli harian menerima 24-40 sen, wanita dan anak-anak diupah 15 sen, sedangkan tukang menerma upah sebesar 25 sen sampai f.1. Dengan adanya pendapatan berupa uang kontan dari upah yang diterima oleh kuli penggarap, isteri dan anaknya itu berarti terdapat daya beli dalam masyarakat. Kenyataan ini diketahui oleh warga desa terutama wong numpang. Mereka dengan sigap memproduksi hasil pertanian dan pekarangan berupa umbi-umbian dan buah-buahan yang dijajakan pada saat hari gajian setiap Sabtu sore dua minggu sekali di depan pabrik. Saat seperti itu puluhan orang dengan membawa uang siap membeli apa saja di dijajakan oleh penjual. Barang yang dijajakan yang semula berupa hasil pertanian berkembang menjadi hasil kerajinan serta barang lain yang berasal dari luar desa. Demikian pula tempat trasaksi antara penjual dan pembeli sudah tidak hanya dilakukan di sepanjang jalan di depan pabrik tetapi perlu dibuatkan pasar secara khusus di suatu tempat yang tidak jauh dari bangunan pabrik seperti yang dapat diamati di perkebunan Wedi-Birit yang berlokasi di Kecamatan Wedi.9

Perkembangan industri pedesaan dan manufaktur mengalami kenaikan pada akhir abad ke-19. Pada tahun 1890 misalnya kerajinan berkembang dan hasilnya dijual di pasar¬pasar yang ada di sekitar perkebunan maupun pasar di luar daerah Surakarta. Kerajinan batik tulis yang semula menjadi monopoli keluarga bangsawan sejak 1890 menjadi monopoli orang Cina. Pada waktu itu pemasaran kain batik sudah menjangkau pasar di seluruh daerah Kejawen dan Priangan (AVS, 1897). Kerajinan bamboo, rotan dan anyaman dipasarkan di pasar local. Kerajinan kuningan seperti bokor, talam, dan pendok keris berkembang di Solo. Alat pertanian dan rumah tangga dari bahan besi dan tembaga dijual di pasar di Daerah Kerajaan. Payung yang menjadi status simbul social merupakan kerajinan rumah tangga yang cukup lama berkembang seperti di desa Juwiring. Demikian pula kerajinan gerabah di Bayat, Klaten. Pembuatan perahu terhenti ketika jalan kereta api dibuka untuk jurusan Solo-Surabaya pada 1884. Selain barang dari kulit, di pasar dan desa banyak beredar minuman keras, ciu, dan rokok wangen, sebagai barang penikmat Orang Cina membuat soya dan taoco dan kecap dari kedelai yang dijual di warung¬warung.

Daerah Kejawen relative diuntungkan karena topografi yang landai. Prasarana transportasi dn komunikasi tidak menuntut dibangun dengan konstruksi yang canggih karena kedalaman sungai memungkinkan sungai-sungai diseberangi. Demikian pula sarana angkutan seperti gerobak, cikar dan angkutan manusia lazim digunakan pada oertengahan abad ke-19 (Lihat Carey, 1986). Lebih jauh Carey juga mendeskripsikan kecuali tentang produksi dan pengolahan hasil pertanian seperti kacang tanah, minyak klentik, dan kain tenun dan kain batik juga jaringan perdagangan yang menghubungkan antara daerah produsen di Kedu dengan berbagai pasar di pusat perdagangan yang ada di daerah lain di pedalaman Jawa Tengah maupun pantai utara Jawa. Jaringan transportasi antara pedalaman dengan pantai utara itu bukan saja memungkinkan terjadinya transaksi dagang antara produsen dengan pasar tetapi juga menjadi saluran masuknya barang dari luar ke pedalaman.

Jangkauan perdagangan di pedalaman masih relative dekat, meskipun angkutan untuk jarak yang relative jauh digunakan gerobak dan cikar dengan daya tempuh sekitar 40 paal 10

sehari. Dilaporkan dalam Babad Tanah Jawi (BTJ) bahwa ibukota Kerajaan Mataram telah mempunyai jaringan angkutan darat ke Semarang lewat Ambarawa dengan melewati jembatan yang ada di Jambu (BTJ, t.th.). Unuk perjalanan yang mempunyai jarak lebih dari 40 paal memerlukan penginapan di koplakan yang terletak di antara kota¬kota kecil yang tersebar di Surakarta. Prambanan, Delanggu, Penggung, Jatinom, Boyolali, Pungkruk, dan Banaran adalah tempat transit pedagang yang akan melanjutkan perjalanannya ke arah barat, utara dan timur dari Surakarta. Di pasar yang ada di Surakarta banyak dijual hasil kerajinan maupun hewan piaraan yang ditukarkan dengan kapas dari Ponorogo, kelapa dari Pacitan, pakaian dan alat rumah tangga buatan Surakarta, kain lurik dari Jogjakarta, Bagelen, Rembang, dan Pekalongan.

Tempat transit itu sebenarnya bukan hanya terdapat penginapan tetapi juga warung dan hiburan lain yang diperlukan oleh mereka yang memerlukan hiburan seperti penjualan candu, warung yang menjual ciu dan jenewer buatan local seperti yang dijumpai di Delanggu. Berkaitan dengan masuknya ekonomi uang ke pedesaan di Surakarta maka masyarakat pedesaan di sekitar koplakan itu juga sebenarnya adalah pengguna fasilitas yang disediakan di koplakan itu. Dengan kata laik koplakan itu sebenarnya adalah embryo dari pusat pertumbuhan di simpul kegiatan ekonomi perkebunan yang tersebar di seluruh wilayah Surakarta yang kelak berkembang sebagai pusat kegiatan ekonomi dan kemudian menjadi pusat kegiatan administrasi seperti desa, kecamatan, atau bahkan kawedanan.

Tempat transit itu biasanya terletak dekat dengan perkebunan dan pusat kegiatan ekonomi seperti pasar misalnya Gondang Jetis dekat setasiun Srowot. Untuk menndukung angkutan barang di beberapa tempat tertentu tersedia pelayanan perbaikan kereta dan gerobak antara lain di Karangwuni, Wonggo, dan Pokohan.

Bagi perusahaan perkebunan ketersediaan berbagai sarana dan prasaranan sangat penting. Prasaranan perhubungan seperti jalan dan jembatan, sarana angkutan berupa grobag dan cikar perlu disiapkan secara matang. Jalan dan jembatan perlu disiapkan guna menunjang angkutan sarana produksi dari gudang ke kebun atau membawa hasil panen ke gudang 11

atau los pengering, serta mengangkut produk dari gudang ke setasiun kereta api atau ke pelabuhan untuk diekspor. Sebelum jaringan kereta api yang menghubungkan antara Semarang dan Vorstenlanden dibangun pada 1884 prasarana angkutan yang digunakan di Surakarta adalah jalan darat dan jaringan sungai lewat Bengawan Solo. Pada waktu itu industri pembuatan kapal atau perahu cukup maju di Surakarta karena perahu digunakan bukan hanya untuk mengangkut produk pertanian dari daerah sekitar kota ke pasar kota tetapi juga digunakan untuk mengangkut produk yang dihasilkan daerah ini ke Surabaya untuk diekspor. Namun dengan dibukanya jaringan kereta api Semarang – Vorstenlanden itu berdampak bukan saja tidak berfungsi angkutan sungai dari Surakarta ke Surabaya tetapi juga matinya industri pembuatan kapal di Surakarta.

Jalan raya Jogjakarta – Surakarta menjadi ruas utama yang menghubungkan kedua ibukota kerajaan Kejawen itu dengan Jakarta di barat dan Surabaya di timur lewat jalur selatan. Di beberapa tempat sepanjang ruas Jogja-Surakarta-Ngawi itu terdapat simpul¬simpul yang lewat jalan darat berhubungan dengan perusahaan perkebunan di wilayah Surakarta yang berada di utara dan selatan jalan raya tersebut. Jalan kereta api yang menghubungkan Semarang dengan Surakarta, kemudia dihubungankan dengan Jogjakarta ke barat dan Madiun di timur. Untuk mendukung perkembangan di daerah selatan jaringan jalan kereta api antara Solo – Kampak lewat Wonogiri sempat dipertimbangkan namun realisasinya tersendat-sendat (KV, 1886).

Jalan raya yang menghubungkan ibukota kasunanan Surakarta dengan kota dan pusat pertumbuhan lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur maupun dengan kota-kecil di wilayah Surakarta telah terjalin bersamaan dengan perkembangan ekonomi pribumi baik di sector pertanian maupun industri pedesaan. Sejak 1830 misalnya Surakarta telah muncul sebagai salah satu penghasil beras yang utama di Jawa dan sebagai pengekspor beras yang penting ke beberapa daerah di sekitarnya seperti Jogjakarta, Ponorogo, Madiun, Salatigo dan Semarang, dan keadaan ini berlangsung terus sampai akhir abad ke-19. Jaringan itu semakin luas dengan dibangunnya rel kereta api sehingga kota seperti Surabaya dan Kediri menjadi pasar bagi produk yang dihasilkan Surakarta.12

Jaringan transportasi dan komunikasi yang ada di Surakarta sejak dasawarsa pertama abad ke-19 telah berfungsi secara optimal dan menempatkan Surakarta sebagai pusat kegiatan ekonomi di Daerah Kejawen. Posisi Surakarta sebagai penyedia bahan pangan dan berbagai kebutuhan bagi penduduk di kota-kota di Daerah Kejawen berubah menjadi semakin penting dengan masuknya perusahaan perkebunan swasta dan dibangunnya jaringan rel kereta api. Ekonomi perkebunan yang menjadi tulang punggung ekonomi colonial memperoleh dukungan pemerintah colonial. Berkaitan dengan hal; itu maka di Surakarta didirikan perwakilan pemerintah colonial di Batavia dengan menempatkan Residen dan kemudian dinaikkan statusnya menjadi Gubernur.

Untuk mendukung kebijakan swastanisasi perkebunan ini maka di berbagai tempat dimana perkebunan diusahakan didirikan berbagai fasilitas yang diperlukan seperti gudang, pabrik dan los pengering serta sarana pendukung yang lain seperti jaringan jalan, sarana irigasi, armada angkutan yang terdiri dari lori dan armada angkutan grobag. Khusus untuk angkutan grobag hanya disiapkan di desa penghasil gula. Namun karena hamper di setiap wilayah kecamatan terdapat pabrik gula maka hampir di setiap desa dapat ditemukan petani yang menjadi tukang grobag. Di setiap perkebunan kecuali dibangun empalsemen atau pabrik untuk mengolah hasil perkebunan juga dibangun fasilitas perumahan bagi administrator dan staf, serta kantor. Di sekitar pabrik juga dibangun fasilitas untuk memenuhi keperluan orang Eropa seperti gereja dan rumah sakit. Sementara itu untuk keperluan masyarakat pasar musiman setiap hari gajian berkembang pesat sehingga perlu dibuatkan pasar khusus. Tempat yang memiliki berbagai fasilitas seperti itu berhasil menarik masyarakat di desa sekitar untuk datang dan dan berusaha di berbagai kegiatan seperti membuka usaha pengolahan hasil serta industri pedesaan lain maupun membuka warung dan pelayanan seperti bengkel grobag dan jasa lainnya.

Apabila keberadaan pabrik berhasil mendorong berkembangnya kegiatan ekonomi desa serta menarik penduduk dari desa sekitar dating ke tempat tersebut maka di kota Surakarta keberadaan petinggi pemerintah colonial baik Residen apalagi Gubernur memberikan dampak yang luar biasa. Ditambah lagi bahwa kota Surakarta yang menjadi tempat berkumpulnya para pimpinan perusahaan perkebunan setiap akhir pekan membuat 13

kota Surakarta harus berbenah. Untuk itumaka dibangunlah berbagai gedung perkantoran yang merupakan symbol dari supremasi kekuasaan colonial di Daerah Kejawen Maka dibangunlah Rumah Residen yang megah yang kemudian disebut dengan Loji Gandrung. Fasilitas lain seperti benteng dan loji di dalamnya, geraja serta kantor pos melengkapi simbolisasi pengaruh kekuasaan colonial di Surakarta. Saat Pasar Kliwon dibangun oleh Sunan maka pengusaha Belanda yang dimotori oleh Dezentje memanfaatkan lahan yang ada di tepi jalan raya yang terletak di sebelah utara alun-alun Kraton Surakarta antara Gladag sampai Purwosari untuk membangun gedung guna keperluan petinggi penguasa colonial dan petinggi di Surakarta. Demikian pula ketika Sunan membangun Taman Sriwedari Residen memerintahkan membuat Gedung Perpustakaan Radya Pustaka.

Untuk kepentingan pengamanan kompleks pabrik direkrut beberapa orang sebagai tenaga pengamanan sementara itu untuk penjagaan keamanan tanaman perkebunan tugas ronda malam dibebankan pada penduduk desa sekitar kebun. Tidak jarang penduduk desa juga harus membuat pagar pengaman bagi tanaman perkebunan berupa tanaman berduri di sekeliling kebun. Dalam memanfaatkan irigasi kepentingan perusahaan perkebunan diutamakan sementara itu kepentingan petani dinomorduakan. Sistem yang digunakan disebut dag-en-nacht, di siang hari air digunakan untuk tanaman perusahaan dan di malam hari untuk kepentingan petani.

Guna memasarkan produk yang dihasilkan di kota maupun daerah sekitarnya di Surakarta ada pasar besar yaitu Pasar Kliwon dan Pasar Legi. Di pasar inilah barang berupa hasil industri dan kerajinan yang diproduksi di kota seperti batik dan hasil manufaktur lain serta hasil pertanian dr pedesaan di pasarkan. Transaksi jual beli untuk keperluan perdagangan antarkota maupun kepentingan ekspor juga sudah dilakukan. Seperti komoditas batik sudah dipasarkan ke berbagai daerah di Jawa demikian juga hasil pertanian seperti beras. Perkembangan penting lainnya adalah bahwa terdapat hirarkhi dalam menjalankan fungsi perdagangan yang melibatkan perdagangan local maupun internasional. Daerah penghasil di luar kota akan mengirim barang ke pos pengumpul yang kemudian pos ini akan mengirim ke terminal angkutan ke pelabuhan pengirim ke daerah lain atau ke pasar internasional di luar negeri. Demikianlah gula yang dihasilkan 14

oleh berbagai pabrik gula yang ada di Karesidenan Surakarta seperti di perkebunan gula di Gondang, Karanganom, Manisrenggo, Ceper, dan Gondangwinangun akan mengirim dengan armada grobag dari gudang ke setasiun kereta api di Sragen, Delanggu, Klaten, Srowot, dan Prambanan. Dari setasiun kecil ini komoditas dikirim ke setasiun Purwosari dan dari tempat ini komoditas itudikirim ke pelabuhan Semarang dengan angkutan grobag dan kemudian dengan kereta api setelah 1884. Komoditas yang dihasilkan perusahaan perkebunan di Surakarta kecuali gula adalah tembakau, kopi, serat agave, dan beras. Mengingat komoditas tersebut tidak memiliki pola tanam dan panen yang seragam maka kegiatan produksi, prosesing dan pemasaran berlangsung sepanjang tahun. Dengan demikian betapa kegiatan di seluruh wilayah Kasunan dan Mangkunegaran mampu menggerakkan hampir seluruh elemen masyarakat di desa dan di kota yang ada.

Karena kegiatan ekonomi itu tidak selalu dilakukan pada siang hari maka pada malam hari juga lazim dijumpai kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Terlebih lagi kerja bebas diterapkan secara serius oleh pemerintah colonial pada dasawarsa awal abad ke-20 maka setiap kegiatan ekonomi berarti terbukanya sumber penghasilan tambahan bagi penduduk pribumi. Keadaan ini membuat kehidupan malam di Surakarta sangat dinamis sehingga kota Surakarta sampai dengan dasawarsa 1870-an dikenal sebagai satu-satunya kota di Bumi Kejawen yang tidak pernah tidur.

Selain kegiatan ekonomi aktivitas pembangunan berbagai sarana dan prasarana seperti gedung, jalan dan jembatan di kota dan berbagai wilayah Kasunanan membuat penduduk memperoleh sumber penghasilan. Penduduk pedesaan di sekitar kota bergerak ke kota untuk memanfaatkan terbukanya peluang ekonomi tersebut di sector informal yang menjadi mulai penting pada awal abad ke-20. Sebagai akibatnya adalah di kota muncul pemukiman kumuh di sekitar proyek maupun di sekitar jalan kereta api. Tempat kumuh ini, yang disebut dengan slum, adalah sumber bagi kegiatan criminal yang berkembang sejalan dengan tumbuhnya kota sebagai pusat kegiatan ekonomi yang semakin penting.15

4. Ekonomi Perkebunan dan Urbanisme
Perkembangan ekonomi dan budaya Surakarta didukung oleh kota di sekitarnya. Sebagai ibukota kerajaan Surakarta adalah pusat kegiatan politik, ekonomi dan budaya. Tentulah penguasa yang lebih rendah di tingkat kabupaten yaitu Klaten, Sragen, Karanganyar dan Boyolali akan meniru gaya hidup dengan membuat duplikat budaya feudal agraris di wilayahnya. Begitu seterusnya sampai ke jenjang yang lebih rendah di tingkat kawedanan, dan asisten wedana. Budaya Eropa tak pelak juga mewarnai kehidupan di istana Kasunanan. Tradisi dansa dan pesta pada setiap akhir pekan yang diselenggarakan di kediaman Residen atau di rumah bilyar yang disebut dengan kamar bola memperkuat berkembangnya corak kehidupan yang hedonistis di kalangan rakyat kebanyakan di Surakarta (Wawancara dengan Slamet, mantan boekhouder pabrik tembakau Bangak, Juli 1985). Tradisi minum ciu dan arak, konsumsi candu dan berfoya-foya yang didukung oleh bonanza ekonomi perkebunan mendorong berkembangnya industri ciu serta munculnya pusat hiburan di kota kawedanan seperti Delanggu dan Sragen.

Sejalan dengan pemenuhan kebutuhan perusahaan perkebunan maka reorganisasi agrarian di Daerah Kerajaan dilaksanakan dengan control ketat dari petinggi pemerintah colonial. Reorganisasi yang dilaksanakan pada 1912 di Surakarta dan 1916 di Jogjakarta memberikan hak anggadung kepada masing-masing petani penggarap atau kuli. Dengan status sebagai penggarap maka perkebunan mempunyai jaminan bukan hanya tanah tetapi juga tenaga kerja yang diperlukan untuk mengusahakan tanaman perdagangan. Sebaliknya bagi petani dengan memiliki hak individu atas lahan pertanian dan pekarangan itu menjamin mereka untuk menerima uang kontrak dari perusahaan perkebunan yang menyewa lahannya. Meskipun demikian pada dasawarsa 1920an kecuali petani terserap dalam kegiatan di kebun tetapi juga wanita dan anak-anak yang ada di desa perusahaan tembakau terserap ke dalam pekerjaan di perkebunan. Ini berarti bahwa di desa perkebunan tembakau seperti Gayamprit, Wedi-Birit, Kemudo, Gantiwarno, Jiwo, Demangan, Ketandan, dan Pandan Simping secara ekonomis mempunyai daya beli yang semakin kuat. Di samping itu industri pedesaan yang terkait secara langsung atau tidak langsung dengan perkebunan tembakau seperti pembuatan bahan atap los pengering atau welit serta usaha angkutan grobag dan cikar juga berkembang pesat. Semakin banyak kegiatan yang melibatkan penduduk desa yang terserap oleh perusahaan perkebunan akan semakin besar uang yang beredar di masyarakat. Hal ini akan menimbulkan dampak langsung atau backward linkage ataupun damaktidak langsung atau forward linkages. Logika seperti inilah yang sebenarnya merupakan factor yang mendorong berkembangnya kota kecil yng berada di sekitar perusahaan perkebunan di Surakarta.

Kota Surakarta sebagai pusat kegiatan ekonomi dengan penduduk yang semakin banyak baik yang terdiri dari bangsa Eropa dan Timur Asing lain maupun orang yg datang dari pedesaan untuk mengadu untung di sector informal membuat kota semakin hidup. Kepemilikan angkutan berupa mobil mulai meramaikan jalan di kota Surakarta. Demikian pula angkutan umum berupa bis yang menghubungkan Surakarta dengan berbagai kota seperti Sragen dan Madiun, Boyolali, Salatiga dan Semarang, Kartosuro, Klaten, dan Jogjakarta, maupun Wonogiri. Jalan kereta api menghubungkan angkutan dari Suraarta ke Surabaya ke arah timur, serta ke Semarang atau ke Jogjakarta. Jaringan angkutan darat itu mempermudah dan mempercepat angkutan manusia dan barang yang mendorong berkembangnya aktivitas perekonomian di Surakarta dan kota kecil lainnya.
Stasiun Klaten Dibangun NIS 1903-1910

Berdirinya berbagai fasilitas pelayanan politik, ekonomi, social dan budaya bagi masyarakat Eropa maupun pribumi terutama untuk periode sampai 1930 menunjukkan perkembangan kota yang optimal dari di Surakarta maupun di kota kecil lain di seluruh daerah ini. Di Kota Surakarta dibangun berbagai fasilitas hiburan seperti Taman Sriwedari dan Taman hiburan Tirtonadi, serta kebun binatang Sriwedari. Pusat kegiatan perdagangan berupa pasar dan toko di buka di beberapapemukiman dan jalan besar. Pera orang Eropa dan Cina, serta pribumi cukup penting dalam kegiatan ini yang melibat produk local maupun import seperti kain cita dari India dan Cina yg sdh masuk Hindia Belanda sejak pertengah abad ke-19.

Pelayanan jasa yng semakin bervariasi di kota besar dan kota kecil di Karesidenan Surakarta menunjukkan bahwa perkembangan kota semakin pesat serta gaya hidup masyarakat yang semakin variatif. Fasilitas hidup dengan segala plus minusnya ternyata membuka peluang bagi pelayanan kesehatan seperti pemasangan gigi palsu sampai pengobatan sakit kelamin yang lazim dijumpai dlam reklame surat kabar waktu itu (Sukarto, 2000). Demikian pula tempat khusus untuk penjualan candu dan minuman keras serta pelayanan hiburan bagi lelaki dijumpai hamper di setiap kota kawedanan. Di kota kecil ini kecuali ada koplakan, pasar, warung remang-remang, juga terdapat pelayanan social yg lain seperti kantor pemerintah, sekolah, gereja atau masjid, rumah sakit, pegadaian serta kantor polisi dan pos militer.

Masa Depresi 1930an adalah masa sulit bagi semua orang terutama perusahaan swasta yang hamper semuanya gulung tikar kecuali beberapa perkebunan tembakau karena tidak mampu menjual produknya ke pasar internasional. Sementara itu di Surakarta dan kota kecil lainnya dibanjiri buruh perkebunan yang dipulangkan dari Sumatra Timur. Hilangnya sumber penghidupan di perkebunan di Surakarta dan kembalinya sanak kerabat mereka dari Sumatra Timur menjadikan beban yang ditanggung oleh daerah ini semakin berat. Sektor yang tertimpa beban langsung adalah sector pertanian. Anehnya di tengah dasawarsa 1930an yang sulit itu pedesaan di Surakarta justru menunjukkan kemampuan yg elastis untuk beradaptasi. Dalam mencari jalan keluar bagi semakin banyaknya penduduk yg harus diberi makan tanaman pangan yang diusahakan bergeser dari sumber karbohidrat berkualitas tinggi ke sumber karbohidrat berkualitas lebih rendah misalnya dari beras ke ketela pohon atau ubi jalar. Demikian pula pemanfaatan lahan dilakukan semakin intensif seperti diversifikasi tanaman serta multiple cropping yang memungkinkan dilakukan panen beberapa kali dalam satu musim tanam (Wawancara dengan Carik Kotesan, Kec. Prambanan, 2 Juni 1986).

Masa Pendudukan Jepang, periode perjuangan kemerdekaan, serta awal periode kemerdekaan Surakarta penuh dengan gejolak yang dimotori oleh satuan pemuda dan kelompok militer. Peran istana Mangunegaran dan Kasunanan maupun pedagang serta ulama membuat dinamika social politik semakin kompleks. Kota Surakarta dan kota kecil lain menunggu hadirnya kembali perkebunan sebagai akibat Konferensi Meja Bundar. Meskipun modal perkebunan sempat kembali beroperasi di Surakarta tetapi dampak di timbulkannya terhadapkota dan masyarakat Surakarta tidak sehebat yang diharapkan oleh mereka.

5.Penutup
Berdasarkan pada uraian terdahulu beberapa dapat dikemukakan sebagai berikut:

Kota di Surakarta yang berbasis pada ekonomi dan lingkungan agraris telah berkembang sedemikian rupa sehingga mampu memberi manfaat bagi penduduk di pedesaan sekitar kota-kota tersebut baik dalam sector formal maupun sector informal.

Ekonomi perkebunan telah mampu membuka peluang ekonomi bagi penduduk potensial di pedesaan untuk memanfaat daya beli yang meningkat maupun perubahan ekologi budaya petani yang mampu menangkap kesempatan yang ada.

Transformasi social di Surakarta ditandai dengan munculnya sector informal di kota serta pedesaan di daerah rurban (rural-urban).

Dampak langsung ekonomi perkebunan seperti yang dialami oleh petani penggarap berupa meningkatnya daya beli yang merangsang tumbuh dan berkembangnya industri pedesaan. Adapun dampak tidak langsung adalah munculnya penyakapan lahan nganggur milik penggarap oleh wong numpang yang pada perkembangannya diwarnai oleh proses involusi seperti yang dirumuskan oleh Geertz.

5. Perusahaan perkebunan dan penguasa colonial dengan segala fasilitas yang diperlukan di Surakarta menjadi motor bagi dinamika yang berlangsung di Surakarta dan dalam proses itu pula berbagai pihak dapat memperoleh manfaat dalam mencari sumber penghidupan dalam berbagai kegiatan ekonomi meskipun pada masa sulit seperti Depresi 1930an, masa penjajahan Jepang sampai dengan masa perjuangan kemerdekaan dan awal kemerdekaan.

Daftar Pustaka
Elson, R.E., 1984. Javanese Peasants and the Colonial Sugar Industry. Singapore: Oxford UP.

Fernando, R.M., 1982. “Peasant and Plantation Economy: The Social Impact of the European Plantation Economy in Cirebon Residency from the Cultivation System to the End of First Decade of the Twentieth Century”. Unpublished thesis, Monash University.

Geertz, C., 1963. Agricultural Involution The Proces of Ecological Change in Indonesia. Berkeley: University of California Press.

Mashuri, 1995. Menyisir pantai Utara. Jakarta: Yayasan Pustaka Nusatama-KITLV.

O’Malley, W.J., 1977. “Indonesia in the Great Depression: A Studt of East Sumatra and Jogjakarta in 1930s” Unpublished Ph.D. thesis, Cornell University

Singgih Tri Sulistiyono, 2003. The Java Sea Network: Patterns in the Development of Interregional shipping and trade in the process of national economic integration in Indonesia, 1870s-1970s. Proefschrift Universiteit Leiden.

Soegijanto Padmo, 1999. Tobacco Plantations and their impact on pesanat society and economy in Surakarta Residency: 1860-1960. Jogjakarta: Aditya Media.

Suhartono, 1991. Apanage dan Bekel Perubahan social di pedesaan Surakarta 1830- 1920. Jogjakarta: Tiara Wacana.

Supomo, 1927. De Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het Gewest Soerakarta. ‘s- Gravenhage: L.Gerretsen.

Suyatno Kartodirdjo, 1982. “Revolution in Surakarta 1945-1950: A Case Study of City and Village in the Indonesian Revolution” Unpublished Ph.D. thesis, the Australian National University.

Soegijanto Padmo Dosen Sekolah Pasca Sarjana dan FIB UGM

Sumber
Makalah disampaikan pada Diskusi Sejarah diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Jogjakarta, 11-12 April 2007.