Pendahuluan
Seperti pada masyarakat lain,masyarakat Jawa mengenal tingkat tutur dalam bahasanya.ingkat tutur dalam bahasa Jawa disebut Undha Usuk.Tingkat tutur merupakan hasil dari kehidupan sosial,yaitu struktur masyarakat merupakan faktor pembentuk struktur bahasa.Orang dapat membedakan golongan rakyat bawah dengan golongan atas berdasarkan ciri-ciri kebahasaan atau tingkat tutur yang dipakai dua golongan tersebut.
Munculnya Tingkat Tutur Dalam Bahasa Jawa.
Penelitian ilmia tentang perkembangan tingkat tutur dalam masa prasejarah bahawa Jawa belum pernah dilakukan,karena tidak ditemukan peninggalan tertulis yang bisa dikaji.Wahyati Pradipto dkk.dari Universitas Indonesia dalam penelitiannya tentang Unggah-Ungguh dalam Bahas JAwa Kuno (1978),menyimpulkan bentuk tingkat tutur dalam bahasa Jawa secara embrional masih belum jelas,kecuali dalam karya Sastra Jawa kuno. Tetapi Moedjanto (1987) menolak anggapan bahwa tataran Ngoko-Krama telah ada sejak jaman Jawa Kuno.Meskipun dalam bahasa Jawa Kuno dikenal juga kata-kata penghormatan yang dipakai untuk menghargai status sosial orang yang lebih tinggi.Kosa kata Krama masa itu masih sangat terbatas pemakaiannya dan belum sepesat masa Jawa pertengahan.Dalam penelitiannya, Moedjanto(1987) membeuktikan,bahwa bahasa Jawa dalam sastra Jawa jaman Islam abad XV-XVI juga tidak jelas memeperlihatkan tataran bahasa yang dipakai dalam komunikasi.ang nampak hanyalah embrio-embrio ke arah Krama-Ngoko.
![]() |
Orang berpakaian dan bersikap gaya Jawa |
Jaman Demak dan Pajang,tingkat tutur Krama-Ngoko nungkin sudah mulai muncul,tetapi hampir tidak ditemukan hasil sastra pada jaman itu sehingga sangat sulit mengidentifikasi tataran bahasa yang dipakai (Moedjanto,1987.hal.60).Menurut G.P.Rouffaer (dalam Moedjanto,1987) unggah-ungguh bahasa mulai digunakan pada abad XVII dan memperoleh bentuk yang tetap hingga saat ini sejak jaman Kartasura.
Politik Tataran Bahasa
Munculnya tataran bahasa sangat berkaitan dengan politik yang dijalankan oleh penguasa Mataram untuk memperkuat kedudukan dengan cara membuat suatu jarak sosial yang ketat antara Kawula dan Gusti (bahkan secara kasat mata pembuatan jarak sosial secara fisik diwujudkan dengan dibangunnya tembok benteng Kraton).Sebagai dinasti yang baru berhasil merebut kekuasaan di JAwa,Mataram perlu memperkuat kedudukannya. Salah satu alat untuk mengukuhkan status sosial yang baru dan memperkuat kedudukannya,terutama sejak Sultan Agung berkuasa ada;lah dengan memciptakan jarak sosial dalam berbahasa.,yaitu dengan mengembangkan tataran Krama-Ngoko.Dengan jarak sosial tersebut memperlihatakan bahwa dinasti Mataram bukan keluarga sembarangan,melainkan sebuah keluarga(dinasty) yang menunjukkan keunggulan (superiority),kejayaan(glory),dan kebesaran (greatest).Upaya pengkultusan kekuasaan tersebut dilakukan karena dinasti Mataram menyadari bahwa sebenarnya mereka berasal dari kalangan petani.Seperti diketahui pada awalnya merupakan sebuah hutan yang diberikan oleh Sultan adiwijaya (Sultan Pajang) kepada Ki Gedhe Pemanahan hingga akhirnya menjadi sebuah Kadipaten dan kemudian menjadi negara agraris yang subur.Oleh Sultan Agung unggah ungguh basa berkembang bersamaan dengan sastra babad.Sastra babad pada saat itu dikembangkan untuk tujuan politik,yaitu melegitimasi kedudukan raja yang memerintah.Sehingga unggah ungguh basa yang digunakan dalam sastra babad juga bertujuan politis yaitu membuat jarak sosial antara penguasa Mataram dan rakyatnya.
Peng-krama- yang dilakukan dinasti Mataram ternyata mendapat perlawanan hebat dari kawasan Islam Pesisir yang sama sekali tidak mengenal bahasa tata cara itu (Anderson,1996).Setelah penaklukan Giri,Gresik dan Surabaya wilayah pesisir Utara itu jatuh ke tangan Mataram dan tentu saja dilakukan pemaksaan pemakaianKrama dapat berjalan lancar.,Tetapi tidak sesempurna seperti pemakaian di pusat kerajaan Mataram sehingga masih terkesan kasar.Demikian pula ketika Cirebon,Jepara dan Semarang jatuh ke tangan VOC sebagai akibat untuk pelunasan hutang-hutang Amangkurat II, aura atau sinar bahasa Krama semakin redup di wilayah-wilayah tersebut.Sehingga Krama bahasa Krama alus hanya bertahan di Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta saja. Khusus dalam kalangan istana muncul ragam Basa Bagongan atau Basa Kedhaton yang bersifat inklusif.Namun sejak tahun 1900an bahas tersebut sudah jarang digunakan di dalam kraton.
Ragam Krama yang bersifat feodalistis itu semakin membelit dan membealut kehidupan masyarakat Jawa sehari-hari dan merupakan sebuah bahasa lisan dan pergaulan.Jadi,basa Krama berkembang dari sebuag bahasa sastrra menjadi bahasa lisan.Perkembangan tersebut juga didukung oleh faktor lain yaituu kekuasaan kolinial Belanda ketika memfosilkan penguasa Jawa dan memfeodalkan hubungan mereka dengan masyarakat yang lain.Dengan demikian,feodalisme semu masyarakat Jawa berpengaruh dalam bahasa Jawa.
Sumber Bacaan
Benedict Anderson (1996),Bahasa dan Kekuasaan,Mizan,Bandung
G.Moedjanto (1987),Konsep Kekuasaan Jawa,Universitas Gadjah Mada Press,Yogyakarta
Darsiti Suratman (2000),Kehdupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939,Yayasan Untuk Indonesia,Jakarta
No comments:
Post a Comment